وَاَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِّنِّيْ ەۚ وَلِتُصْنَعَ عَلٰى عَيْنِيْ ۘ
Artinya:
"Dan Aku telah tanamkan dari kemurahan-Ku perasaan kasih sayang orang terhadapmu, dan supaya engkau dibela dan dipelihara dengan pengawasan-Ku." (QS. Taha ayat 9)🥀🥀🥀
Purnama usai, arunika pun kembali berperan menjadi lampu semesta. Menyudahi lelap dan bayang-bayang imaji yang mengalir deras di pertengahan malam kemarin. Bagai langit yang percaya diri menumpahkan air mata ke bumi, meninggalkan genangan yang dapat dijadikan cermin ketika aku sibuk berlari mengejar waktu dan pertemuan yang harusnya akan tiba hanya dalam hitungan menit.
Tergopoh-gopoh, betapa bergairahnya semangatku. Bayangkan saja, satu dasawarsa mampu kulalui dengan begitu banyak agenda penantian. Menyusun hal-hal baik yang akan menjadi hadiah terindah ketika janji yang pernah kita kaitkan akan terbayar hari ini.
Peluhku mengucur deras. Mungkin dengan begini, akan membawa kesan buruk setelah lama menunda tatap. Aku siap, namun sayang, lembaran-lembaran kerja yang menumpuk harus ku selesaikan dalam hitungan jam. Membuat tidurku tak pulas. Kemarin, aku harus sibuk. Meskipun begitu, aku yakin hari ini akan tiba. Bagaimanapun caranya, aku ingin menjemput renjana yang sengaja ku tanam di bilik hati yang paling istimewa.
Langkahku sudah tiba di tujuan. Ku hampiri pohon besar yang masih sama rindangnya ketika aku melepas kepergian. Jantungku cukup berdebar dengan sangat hebat. Lidahku bahkan sudah terasa kelu. Ku ayunkan kedua kaki dan menghentakkannya bergantian diatas rerumputan yang kupijak.
Satu jam...
Dua jam...
Enam jam...
Batang hidung yang kukenal baik bentuknya, masih belum kunjung tiba. Aku yakin ia berjanji untuk tidak lupa. Namun, sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menjadi berbeda. Dia, tak ada.
Perut yang lupa kuisi, memintaku untuk segera pulang. Senandungnya menandakan kerinduan akan masakan ibu yang tiada banding kelezatannya. Dengan sangat kecewa, aku kembali pulang.
🥀🥀🥀
Ku panggil ibu dengan kuat, namun tak ada sahutan yang menandakan ibu berada di dalam rumah. Pun, ku cari sang adik yang biasa bermain dalam biliknya, tapi tak ada.
Bau asap yang datangnya dari arah kebun belakang rumah, membuatku melangkahkan kaki ke sana. Kulihat kepulan asap bakaran sampah yang ku yakin hasil dari sapuan ibu, namun ibu dimana?
Tiba-tiba, seorang anak kecil muncul dibalik asap putih itu, menari dan tersenyum tepat ke arahku.
"Kakak! Baru pulang ya? Qyla habis dari kayangan. Qyla main di atas awan nih! Kakak ikutan sini temenin!"Tak salah lagi, adikku sedang asik berkhayal. Diikuti ibu yang muncul dari arah belakang sambil menarik tangan adikku.
"Bau ini dek, ayo masuk. Nanti mata kamu perih lama-lama disini. Sana, ke kakak aja ya, mandi dulu." Ucap ibu yang terlihat khawatir pada si bungsu kesayangan kami.
Terlihat tanpa kecewa, adikku menuruti apa kata ibu. Harusnya, aku tak ingin tersenyum hari ini. Namun lagi-lagi, kehangatan yang kumiliki dengan keluarga menjadi air kala api berkobar dalam dadaku. Seutuhnya, aku harus bahagia. Setidaknya, untuk mereka.
Ibu paham betul, raut mukaku yang terlihat lapar dan lesu. Bergegas, tiba-tiba ibu menyuruhku untuk duduk di meja makan, sedang ibu menyiapkan sepiring nasi untuk ku santap. Kebetulan, lauk hari ini adalah menu yang paling ku suka. Padahal, aku sudah tak muda lagi untuk dimanja. Namun, begitulah ibu.
Terkait rencanaku yang akan bertemu dengan seorang sahabat lama yang tak lagi pernah berkabar, tentu ibu tahu. Tapi, beliau bahkan tak bertanya sedikitpun mengenai hal itu. Beliau hanya berkata, "Ibu sudah sering mengingatkan, bahwa apa yang kamu pupuk saat ini belum tentu akan membuahkan hasil. Rasanya, mustahil bagi seseorang mengingat sesuatu yang sederhana dalam waktu yang lama, meski itu sangat berarti bagimu. Dia sudah memilih kehidupannya, dan kamu juga memilih untuk hidup seperti ini. Ingat nak, setiap penantian ada ujungnya. Dan, mungkin ini petunjuk dari Allah bahwa kamu harus berhenti, hanya sampai disini."
Mataku berkaca-kaca. Aku malu untuk menangis di depan ibu. Ku teguhkan lagi hatiku dengan memantapkan diri untuk tersenyum selebar-lebarnya. Ibu menepuk-nepuk pundakku. Sedihku berjatuhan bagai dedaun pepohonan yang jatuh di musim gugur. Ku suapkan sesendok nasi ke mulutku. Aku harus mengukir rencana yang baru, rencana yang pasti mampu untuk keselesaikan.
🥀🥀🥀
Terlahir dari keluarga yang paham benar arti agama dan mengajarkan tiap-tiap poin penting pada anak-anaknya, membuatku tak henti bersyukur meski yang namanya hidup tak akan pernah mulus-mulus saja. Ya, tentu hidupnya akan jauh lebih terbatas. Tak akan dengan mudah untuk bebas.
Yang dibutuhkan oleh seorang anak adalah kasih sayang, entah tersirat maupun tersurat. Sebab dengan kasih sayang, segala sakit serta penat yang kita rasakan akan berkurang. Meski kita tak pernah angkat suara terkait betapa sulitnya kita hidup, kasih sayang mampu melerai segalanya.
Teruntuk aku dan kita semua. Kelak, kita juga akan membangun sebuah keluarga, jika Allah berkehendak tentunya. Mungkin akan terlihat mudah pada awalnya, tapi untuk bertahan hingga nyawa tak lagi berdetak butuh perjuangan yang tak pernah berkesudahan.
🥀🥀🥀
Sebuah harga yang kau beri atas tetes demi tetes peluh yang membasahi baju ayah dan ibumu hari ini, menjadi hadiah terindah yang akan dipersembahkan oleh anak-anakmu kelak. Begitupun apa-apa yang kau lakukan hari ini, adalah penentu masa depanmu sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari, Duduk Sejenak
EspiritualMari, Duduk Sejenak adalah project pertama kami. Bersama para gadis-gadis pejuang hijrah untuk surga Ilahi. Mencoba untuk menginspirasi para jomblo yang dikhianati. Juga membangkitkan kobaran api semangat untuk merubah diri. Semoga saja, dengan ini...