3. Semu

22 5 0
                                        

Suara Adzhan menggema ditelingaku, pagi-pagi buta. Aku harus segera bergegas mengambil air wudhu di sumur belakang rumah. Sambil menimba air, aku melihat beberapa orang lalu lalang melewatiku untuk pergi ke Masjid.

Aku menunggu sepi, baru aku mulai menaikkan lengan bajuku sampai atas siku, begitu pun dengan kerudung yang kupakai.

Tak elak, suasana kampung begitu menentramkan, walaupun aku belum pernah menginjakan kaki ku di kota. Entah bagaimana caranya, aku rasa aku tak bernyali untuk sekedar menengok saja.

Lamunanku buyar saat Umma mengagetkanku, "Astagfirullah Azzahra." mata Umma terbelalak menatapku yang masih belum mengambil wudhu.

Tanpa membalas sepatah kata, aku langsung mengambil air wudhu. Lalu, segera bergegas ke Masjid untuk sekalian ikut kuliah Subuh.

Di Masjid, aku masih saja melamunkan bagaimana suasana kota, sepertinya menyenangkan tinggal disana. Aku pasti bisa pegang prinsipku, aku tak perlu khawatir.

Esok hari, aku segera menemui Abah untuk mengatakan niatku yang ingin hidup dikota.

"Ara ijin ya bah, Ara ingin merantau ke kota." Abah sedikit kaget lalu termenung. Selama ini Abah tidak pernah membentak kasar, ia selalu menasihati dengan lemah lembut.

"Apa itu keinginanmu? Azzahra, Kita ini tidak punya sanak saudara dikota, lalu kamu mau tinggal dengan siapa nak?"

Aku memutar kembali pikiranku. Mencari cara dengan siapa aku akan tinggal disana. "Ara mau lanjut kuliah dikota bah, Ara mau mengubah nasib." aku memelas pada Abah.

"Azzahra, domba yang sendiri akan lebih cepat diterkam serigala dibanding dengan domba yang bergerombol." aku terhenyak mendengar ucapan Abah, sama sekali tidak paham.
 
"Maksud Abah?" aku menatap Abahku serius.

"Abah hanya khawatir tentang keimananmu nanti dikota nak." Abah terlihat muram.

"Memangnya abah gapercaya Ara bisa jaga diri?"

"Bukan seperti itu tapi segala sesuatu tentang dan perbuatan kamu akan menjadi tanggung jawab Abah di akhirat kelak." Abah masih terlihat muram.

Umma datang menghampiri kami berdua, rupanya Umma sudah mendengar niatku ini, "Ikuti saja apa kata Abahmu."

"Kenapa? Abah dan Umma ngira Ara bakal jadi berandalan disana? Ara gamau jadi seperti Umma yang cuman didapur, Ara mau jadi orang sukses, nanti Umma dan Abah juga kan yang nikmatin hasilnya." aku meninggikan suaraku.

Setelah perdebatan yang cukup lama, aku tetap mengikuti niatku tanpa ijin Umma dan Abah.

Esokan harinya aku berangkat,  malam sebelumnya aku sudah siapkan segala sesuatunya didalam tas besar untuk kubawa ke kota.

Sampai di kota, aku langsung disambut huru hara suasana kota, kemacetan tak berkesudahan, keramaian yang memuakkan.

Aku segera merogoh tas ku untuk mengambil dompet dengan sedikit uang bekal yang sudah kutabung sejak lama, tapi sudah tiga kali aku cari namun tetap tak ada, aku menghamburkan semua isi tas ku di atas meja warteg namun dompetku benar tidak ada. Aku ingat ingat lagi apakah dompet itu tertinggal di bis sewaktu aku membayar atau di curi orang.

Sekarang, aku benar-benar tidak berbekal apapun selain baju2 ku. Perutku lapar, sudah tiga hari aku duduk dan bermalam dipinggiran toko yang sudah tutup, kemana lagi sekarang,  handphoneku ikut hilang karena berada didalam dompet itu.

Kemudian datang wanita paruh baya namun masih tetap terlihat segar dengan dandanannya yang terlalu berlebihan menurutku,  gincu merah, dengan mini dress senada.

Mari, Duduk SejenakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang