Divya mengucek-ngucek matanya yang masih setengah merem melek. Kepalanya terkulai di bahu Papanya yang terus mencium pipinya.
"Divya cuci muka dulu, ya? Masih ada ilernya tuh, bau lagi," kata Kalya menutup hidung.
Nevan tergelak merasakan gelengan Divya.
"Dipi nda bau." Divya mendongak pada Nevan.
"Iya, tapi lebih bagus kalau bangun tidur cuci muka dulu. Papa aja udah cuci muka nih." Nevan menunjuk mukanya yang sudah agak segar meskipun belum mandi.
Kalya meletakkan teh hangat untuk Nevan di meja.
"Tuh, denger Papa ngomong apa. Lagian, bentar lagi Kak Zee sama Kak Raff mau singgah ke rumah buat ketemu Divy."
"Main?" oceh Divya masih kebingungan, tetapi di satu sisi ada raut kegirangan karena akan bermain dengan kakak sepupunya.
"Bukannya mereka sekolah?" heran Nevan.
"Sebelum ke sekolah mau singgah ketemu Divya dulu katanya, mereka video call aku."
"Aku tebak, sebentar ada yang bakal nangis nih kayaknya," sindir Nevan melirik pada Divya.
"Anak aku nggak cengeng."
"Kalau gitu mamanya dong yang cengeng."
Terdengar bisikan 'apa sih' dari mulut Kalya. Sekarang giliran dia yang menggendong Divya untuk diajak cuci muka terlebih dahulu.
"Sekalian mandi aja, ya? Biar harum, terus Mama betah cium-cium Divya. Gimana?"
"Mau main..." Divya cemberut sambil mengigit-gigit jarinya.
"Kotor, Sayang," tegur Kalya menarik tangan Divya dari mulut anaknya. "Iya, habis mandi baru main sama Kakak. Eh, nggak—"
Kalya teringat sesuatu, aduh, bahaya jika Divya betulan menangis kalau Zee dan Raff habis mampir dari rumahnya. Si kembar itu teman main Divya hampir setiap hari. Pokoknya dalam satu minggu Divya selalu bertemu mereka dan menghabiskan banyak waktu untuk bermain bersama. Masalahnya, Divya suka menangis jika akan berpisah dengan mereka. Divya itu tipe anak yang gampang nyaman kalau sudah telanjur dekat dengan orang. Misalnya saja Kaesar, salah satu om kesayangan Divya selain Raihan, jika Kaesar sudah melambaikan tangan keluar dari pintu rumah, setelah itu tunggu saja jeritan Divya, sudah seperti orang yang mau ditinggal keluar angkasa.
Kalya melilitkan handuk di badan mungil Divya, sampai-sampai kedua tangan Divya ikut terpenjara di balik handuk pink tersebut.
"Mau gendonggg," ucap Divya tidak sabaran.
"Tuh kan, udah harum. Rambut Divy wangi anggur, Mama suka ciumnya."
"Anggur ungu," beo Divya.
"Iya, bener. Kalau stroberi warnanya apa?"
"Merah."
Sekadar informasi, Divya belum terlalu bisa mengucap huruf 'r'.
"Divy, Kakak Zee dateng!"
Teriakan Zee kedengaran sampai ke kamarnya. Divya, yang baru saja memakai baju dan bawahan hanya berupa celana dalam, seketika berlari keluar kamar setelah mendengar teriakan itu. Kalya yang ditinggalkan oleh Divya hanya bisa melongo pasrah.
"Eh, Divya hati-hati, Sayang, nggak usah lari kenceng-kenceng begini." Nevan mencegat Divya yang berlari jumpalitan dari dalam kamar. Hampir saja ia kehilangan jantungnya ketika melihat tingkah anaknya barusan, tidak bisa Nevan bayangkan jika Divya tiba-tiba jatuh dan kepala atau anggota tubuh Divya lainnya terbentur kerasnya lantai. Ah, bunuh saja dia jika hal itu terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interdependencia (Tamat)
Romance(FOLLOW AUTHOR SEBELUM MEMBACA! BEBERAPA PART DIPRIVATE SECARA ACAK) Sebelum baca ini mending baca Dependencia dulu ----- Tiba saatnya benang kusut terurai. Cukup dulu aku menyakitimu begitu dalam. Sekarang, bolehkah kita menuai bahagia bersama? Sta...