14. Bunga yang Meresahkan

17.7K 2.3K 242
                                    

Mama mertuanya baru saja menelepon, katanya Divya menangis terus karena mencari papanya. Padahal Nevan sedang melakukan perjalan keluar kota. Kalya sendiri masih harus singgah ke minimarket membeli buah tangan untuk dibawa ke panti sore nanti. Andai saja Ibu Bintang tidak meneleponnya tadi malam, mungkin Kalya lupa bahwa ia sudah lama tidak mampir ke panti.

Kalya berbaris paling belakang saat mengantre di depan ATM. Terik matahari membuatnya sesekali menyeka bulir keringat di dahi dengan tisu yang selalu ia siapkan di tas.

"Panas banget sih," desahnya mengipas-ngipas wajah.

"Kalya?"

Suaranya seperti tak asing di telinga. Kalya langsung menoleh.

"Tuh kan, bener," decak perempuan yang menatap Kalya dari atas sampai bawah, kemudian berdecih kecil.

"Ya, Kak?"

Sebenarnya Kalya ingin mengulurkan tangan sambil menanyakan kabar, tetapi dari raut wajah yang terlihat, sepertinya orang di depannya ini tidak butuh basa-basi panjang. Lagian, mereka bukan teman lama yang baru bertemu dan lantas butuh cipika-cipiki manis.

"Gimana rasanya udah ngerebut kebahagiaan orang?" frontalnya dengan tawa bengis yang mampu mencekik Kalya. "Kak Nevan enak, kan? Yaa itulah pokoknya, meski bekasnya Aleta."

Alis Kalya tertaut bingung memaknai situasi ini.

"Kak Mawar nggak tahu cerita yang sebenarnya, jadi tolong jangan bicara sembarangan, ini tempat umum."

Bahkan wanita paruh baya yang ada di depannya sempat menengok ke arahnya dengan tatapan penuh keingintahuan. Kalya hanya bisa tersenyum masam.

Mawar berdecih. "Oh, iya. Lo pasti malu kan ketahuan ngerebut tunangan orang? Oke, gue ngerti. Tapi harus lo ingat, nggak ada orang yang baik-baik aja setelah ditinggalkan, apalagi dalam kondisi udah hampir menyatukan dua belah pihak keluarga. Apa lo tahu gimana hancurnya temen gue gara-gara Kak Nevan milih lo?" Mawar tertawa lirih. "Hancur, Kal. Dia hampir bunuh diri waktu itu."

Rasanya tubuh Kalya ingin luruh mendengar penuturan Mawar, ditambah kejelasan tatapan kosong itu yang seolah ikut meyakinkan keabsahan fakta mengejutkan yang baru Kalya ketahui hari ini.

"Apa Kak Mawar mau ngobrol lebih banyak lagi? Mending kita pindah ke kafe seberang," sahutnya menunjuk kafe minimalis yang ada di sebarang jalan.

"Nggak ada, gue sibuk. Lo buruan masuk duluan."

Entahlah, bertemu dengan Mawar begitu menguras banyak energinya. Mulai dari ingatan menyakitkan, rasa bersalah, dan kesiapan membicarakan masa lalu yang bisa memporak-porandakan pertahanan Kalya.

Satu hal yang membuat Kalya bertanya-tanya usai pertemuan tidak sengajanya dengan Mawar, benarkah Aleta juga pernah melakukan tindakan bunuh diri? Namun, kenapa dia tidak tahu? Nevan pun tidak pernah membicarakannya. Oh, atau mungkin suaminya juga tidak mengetahui hal itu?

Nevan Pradipa

Naik apa ke panti?

Pakai gocar.

Kamu kapan pulang?


Kok nggak minta antar Pak Parman?

Lusa mungkin.

Kenapa nggak tunggu aku pulang baru kita ke panti sama-sama.

Pak Parman keluar sama Papa, pulangnya juga baru entar malam. Ya udah aku pesan gocar aja.

Lama yaa...
Purwakarta kan deket, kenapa mesti nginap sih.

Interdependencia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang