4. Papa Hilang

32.8K 3.2K 271
                                    

Bangun paginya terasa hampa saat menyadari tak ada Kalya dan Divya di sampingnya. Kemarin sore Nevan terbang ke Bali untuk urusan pekerjaan, andai ada waktu pas, Nevan sangat ingin berangkat bersama keluarga kecilnya. Terakhir mereka liburan bersama ke Bali ialah saat salah satu sahabatnya mengadakan pesta pernikahan di Bali.

"Udah bangun?" tanya Nevan pada Kalya lewat sambungan telepon.

"Udah dari tadi. Aku lagi bantuin Mama masak nih."

"Kamu jangan telat makan ya, kalau capek nggak usah terlalu paksain kerja ini itu, sebisa kamu aja. Mama pasti juga ngerti kok."

Nevan menyalakan televisi di depannya. Ia tahu, sebaik apa pun Mamanya pada Kalya, pasti istrinya tetap ada rasa sungkan jika tak membantu pekerjaan wanita di rumah orang tuanya. Yang Nevan perhatikan, Kalya kadang tidak bisa diam melihat ada yang kotor di dapur, kamar, apalagi ruang depan.

"Iya, aku nggak bakal telat makan," jawab Kalya pelan. Nevan mendengar suara benturan piring dari pengeras suara ponselnya. "Mama kan sering bantuin kita jagain Divya, jadi ya kalau ada waktu sebisanya aku bantu-bantu Mama. Nggak masalah sih buat aku."

"Oke. Kayaknya aku baru bisa pulang besok deh, semoga aja dapet tiket pagi biar cepet pulang ketemu kalian."

"Semoga aja ya. Kangen aku nggak?"

"Iyalah, Sayang. Tidur sendiri nggak enak, nggak ada kamu yg bisa dipeluk, nggak ada Divya yang biasa nendang-nendang aku kalau dia tidur kesempitan. Nggak enaklah pokoknya."

"Otak kamu isinya yang romantis-romantis aja deh, nggak nyadar apa ya, kamu kalau tidur ada ileranya tahu."

"Tapi kamu tetep mau aja kok dicium kalau pagi, bau iler nggak tuh?" godanya.

"Ih apaan sih kamu, jangan bahas itu deh."

Nevan tahu, di balik ucapan itu pasti ada bibir mengerucut kesal dari Kalya, lebih tepatnya mungkin disebut merajuk. Ngomong-ngomong, interaksi mereka lewat telepon seperti ini membuat Nevan jadi merasa tengah dalam asmara anak muda baru yang menjalin kasih.

Kalya menyudahi obrolan mereka setelah Mama Nevan mengatakan Divya sudah bangun, terdengar pula suara tangisan yang membuat Kalya menyudahi kegiatan mencuci piring.

Divya dipangku oleh Pak Surya, mengelus-elus rambut cucunya yang masih acak-acakan.

"Papa mana, Eyang?" ocehnya, mengisap jari telunjuk, wajahnya bersimbah air mata. "Ma, Papa ilang," katanya saat melihat mamanya mendekat. Kalya tersenyum masam. Hilang bagaimana coba, hilang dari pandangan mata? Hm, anggap saja begitu.

"Papanya Divya lagi kerja, kemarin kan baru berangkat, ingat nggak? Tenang, ada Eyang kok. Siapa yang mau jalan-jalan sama Eyang? Kakak Zee ikut, Kakak Raf juga ikut."

Divya berjalan mendekati Kalya dan langsung memeluk lutut mamanya, kakinya berjinjit-jinjit sembari mendongak.

"Tuh, diajakin Eyang, mau nggak?" Kalya mengelap tanggannya yang basah menggunakan tisu.

Kening si kecil Divya mengerut, tampaknya ia sedang berpikir keras. "Sama Papa juga?"

"Sama Eyang dulu, besok Papa baru pulang."

"Mau Papa aja, Mama," celotehnya.

"Sama Eyang Putri juga nggak mau?" tanya Mama Nevan.

"Nggak mauuu."

Kedua bola mata Divya berkaca-kaca, bibir cemberutnya justru membuat Kalya semakin gemas, alih-alih merasa cemas. Ya memang sih, sejak keberangkatan Nevan kemarin, Kalya mengamati mood Divya jadi lebih sering memburuk. Makin malas makan, ditawarkan es krim justru menggeleng, semalam juga Divya sempat mengigau sebut-sebut 'papa' dalam tidurnya.

Interdependencia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang