Kekhawatirannya sedikit mereda setelah menatap secara langsung sepasang mata yang masih menutup itu, nyenyak lelapnya bak putri tidur yang menunggu pangerannya datang menciumnya. Ah, Divya tentu saja sudah menunggu kedatangannya, mungkin saking rindunya sampai memancing kecemasan sang ayah yang masih di Bali lewat tingkah lincahnya yang berpotensi membuat kedua orang tuanya jantungan muda.
Deru napas yang keluar dari hidung dan bibir anak itu menjadi melodi menenangkan yang tentu saja bisa mengurangi rasa rindunya setelah tidak bertemu tiga hari.
"Kok mangap sih, Nak, dimasukin laler entar Divy kesedak, lho," canda Nevan, tak lantas memindahkan jarinya dari pipi Divya.
Balita itu masih tertidur, sama sekali belum menyadari papanya sudah pulang dan kini sudah ada di sampingnya. Usai insiden Divya jatuh dari anak tangga seluncuran di taman kompleks sore kemarin, Nevan segera memesan tiket penerbangan tercepat dari Bali menuju Jakarta. Terbukti, pagi ini pada pukul delapan ia sudah sampai di rumah orang tuanya.
"Bangun, Nak, Papa udah pulang lho ini." Nevan mengusap-usapkan wajahnya ke perut Divya, anak itu bergumam tidak jelas dengan mata terpejam. Nevan mengerjai anaknya dengan membuka kelopak mata atas Divya menggunakan ujung ibu jarinya, Divya kembali menggumam tidak jelas. Matanya beberapa kali mengerjap dengan terpaksa, Nevan terkikik melihatnya.
Kalya menepuk punggung tangan suaminya. "Ih, jangan digituin, kasian. Divya ngambekin kamu tahu rasa," ancamnya.
"Anakku tetep gemesin kok meski ngambek sekalipun. Ya kan, Nak?" Nevan mengecup tangan Divya.
"Tadi dia sempet bangun, tapi habis minum susu ketiduran lagi di sofa. Aku bawa ke kamar malah makin anteng boboknya."
"Lututnya yang kebentur sebelah mana?"
Pria itu sibuk memeriksa lutut Divya mulai dari yang kanan, lalu yang kiri.
"Sebelah kiri. Luka biasa kok itu. Semalam aku coba teken-teken bagian dia nggak kesakitan. Pas jatuh kemarin Divya cuma kaget doang makanya nangis kejer kayak gitu. Kamunya malah panik duluan."
"Ayah mana yang nggak panik coba kalau denger anaknya nangis keras kayak kemarin."
Nevan merapikan poni dan anak rambut Divya yang berantakan. Namun, selanjutnya jemari Nevan terdorong oleh putri kecilnya yang menghempas tangan sang papa karena merasa geli.
"Jangannn, Mamaaa," rengek Divya. Kakinya menendang-nendang ke bawah.
"Liat deh itu ada siapa," kata Kalya ingin memancing anaknnya agar segera bangun. "Eh Divy nendang Papa."
"Papa kerja, Mamaaa."
"Masa sih?" sahut Nevan.
Divya kembali bergumam. Mungkin jika dungkapkan dalam kata-kata akan seperti ini kalimatnya, 'siapa sih yang mengganggu tidur nyenyaknya?' tentu dengan garis alis yang membengkok kesal akibat tidak nyaman.
"Ya udah deh, Divya tidur aja dulu. Papa sekarang nggak ke mana-mana kok. Papa nemenin Divya aja di sini."
Pelupuk mata Divya perlahan terbuka, tatapan lurusnya langsung mengarah pada Nevan yang tersenyum semringah.
"Ini berapa?" Nevan mengangkat telunjuknya.
Divya menggeleng lambat.
"Lupa ya, Nak?" Nevan terkekeh. "Kalau ini siapa?" Nevan menunjuk dirinya sendiri.
"Papa." Divya menjawab dengan polos.
"Wih, Divya pinter bangettt!"
Nevan langsung mengangkat tubuh Divya ke pangkuannya, dicubitnya dengan gemas hidung dan pipi balita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interdependencia (Tamat)
Romance(FOLLOW AUTHOR SEBELUM MEMBACA! BEBERAPA PART DIPRIVATE SECARA ACAK) Sebelum baca ini mending baca Dependencia dulu ----- Tiba saatnya benang kusut terurai. Cukup dulu aku menyakitimu begitu dalam. Sekarang, bolehkah kita menuai bahagia bersama? Sta...