"Wieebuuuuu! Maen yuuu!" teriak seorang gadis di depan rumah Al bersaudara.
Tak lama, sang pemilik rumah keluar dari dalam dan berjalan sambil menghentak-hentakkan kakinya menuju pagar rumahnya. Ia pun mengomel, "Berisik ya lo aer kobokan! Gua bukan Wiebu! Gua Alwieb!"
Di luar pagar terdapat Asahina bersaudara lengkap, seketika Alwieb terheran-heran, "Lu pada ngapain dateng ke sini rame-rame? Kayaknya ga ada yang gelar tahlilan deh?"
"Yeu emangnya sapa yang mo minta nasi kotak? Kan mo silaturahmi," jelas Izu sambil menyatukan kedua tangannya ala-ala memberikan salam.
Alwieb sudah hafal dengan sifat Asahina bersaudara. Segera, ia langsung menyemprot, "Hilih ada udang dibalik bakwan lo pada mah. Ayo cepat kasih tau mau ngapain. Ga usah sok alim. Gua hapal banget segala kebobrokan dan kebadutan kalian."
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki bersurai kuning dengan fitur wajah manisnya. Ia berkata sambil tersenyum, "Ah maaf. Sebenernya tadi aku cuma mau ngajakin kalian dateng ke rumahku."
Alwieb tentu mengenal laki-laki ini. Karena, kakak tertua Asahina bersaudaraーAsahina Zenーseringkali terlihat mengobrol bersama laki-laki itu. Setidaknya orang ini lebih normal dibanding Zen. Bahkan bisa dibilang sangat normal.
"Lah kan bisa tinggal kirim pesan lewat DM atau sosmed lain gitu. Kenapa pake dateng segala?" tanya Alwieb.
"Aku mau liat dedeq Alwiet," jawab Mizu sambil tersenyum aneh.
"GA! DIEM AJA LU DI SINI, KALO AMPE MASUK, GUA GEPREK LU!" seru Alwieb sambil menutup pagar. Kemudian sebelum ia masuk ke dalam rumah, ia berteriak, "TUNGGUIN WEH! BARENGAN BERANGKATNYA!"
Sekitar tiga jam kemudian, Alwieb kembali membuka pagar dengan Alwiet dan Alwieta di belakangnya. Dalam hitungan detik, rasa malu meningkat dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Meski bukan mereka yang melakukannya, tetapi sebagai teman, mereka malu. Namun mari kita berikan pengecualian untuk Alwiet karena dia tidak mengerti apa yang dilakukan teman-teman kakaknya ini.
"KALIAN NGAPAIN NGETEH DI DEPAN RUMAH GUE?" sekali lagi, Alwieb meneriaki mereka.
Mereka berlima sedang duduk di depan gerbang dengan dialasi karpet hijau. Di tengah-tengah mereka terdapat teko berisi teh dan beberapa gelas. Tak lupa, televisi juga ada menemani mereka. Entah darimana televisi itu ada.
"Bosen nungguin lu, jadi mending ngeteh aja. Iya kan Map?" kata Izu dengan santainya yang ditambah dengan meminta persetujuan dari Mahon. Entah apa yang ada di pikiran mereka, tapi mereka benar-benar tidak ada rasa malu. Padahal, banyak orang yang lalu lalang di depan rumah Al bersaudara.
"Aku ngikut Nii-chan sama Nee-chan doang," jawab Mahon.
Setidaknya kedua jawaban itu masih normal. Tidak seabnormal jawaban dari Zen, "Aku si cuma pengen bikin Beb Haru nyaman aja."
Haruki yang mendengarnya langsung menyanggah, "Jangan ngadi-ngadi kamu ya Zen. Kita best friend doang, ok?"
"Ta, tanggung jawab lu. Lagian dandan pake apaan aja sih lu ampe tiga jam?" keluh Alwieb pada Alwieta. Alwieta yang merasa tidak bersalah pun bertanya balik, "Beneran mau kusebut satu-satu make up dan segala aksesoris yang kupake?"
"GA GA GA! AYO LAH BERANGKAT!"
∆∆∆
Setelah perjalanan beberapa menit dengan berjalan kaki, mereka akhirnya sampai di rumah Haruki. Saat mereka memasuki halaman rumah Haruki, tiba-tiba Alwiet bertanya, "Kita ke sini mau ngapain Kak?"
Dengan bodohnya, Alwieb pun baru menyadarinya. Sebenarnya apa yang ingin mereka lakukan di rumah Haruki?
Haruki pun menjawab pertanyaan Alwiet sambil tersenyum, "Aku mau nunjukin satu pohon yang kutanem ke kalian."
Mereka pun masuk ke pekarangan rumah Haruki. Di tengahnya, terdapat sebuah pohon besar yang sangat indah. Haruki pun menjelaskan, "Ini pohon yang udah kutanem sejak sepuluh tahun yang lalu. Kata kakek, ini bukan pohon biasa. Pohon ini bisa mengabulkan keinginanmu ketika bunga yang dimilikinya sudah mekar. Tapi sayangnya, bunga pohon ini cuma mekar sepuluh tahun sekali. Dan ya, ini adalah mekarnya yang pertama. Kurasa aku harus membagikan kesempatan langka ini dengan kalian."
"Wah, begitukah? Kalo gitu cara kerjanya gimana?" tanya Alwieta penasaran.
"Tulis permohonanmu di tanzaka, lalu gantung di ranting pohon itu," jawab Haruki.
Mahon yang jarang berbicara pun ikut menambahkan, "Seperti yang dilakukan saat tanabata matsuri?"
"Ya, kurang lebih seperti itu. Kalian bisa duduk dulu di sini. Aku ngambil tanzakanya dulu ya di dalem," pamit Haruki.
Tak lama setelahnya, Haruki kembali dan memberikan masing-masing satu tanzaka ke mereka. Karena Haruki tak memiliki banyak pulpen, jadi pulpen digunakan secara bergantian.
Dengan saling mengintip dan menutupi, mereka menulis harapan mereka di tanzaka tersebut. Setelahnya mereka ikut menggantung tanzaka tersebut.
Sebenarnya mereka tidak begitu peduli dengan terkabul atau tidaknya harapan mereka, tapi mereka melakukan ini hanya untuk kebersamaan mereka.
∆∆∆
Note : di beberapa chap lalu aku meninggal tapi di sini masi idup bukan karena aku bangkit dari kematian tapi karena emang satu chap ke chap lain ga ada hubungannya. Tq :v
KAMU SEDANG MEMBACA
Roller Coaster
Short StoryBerisi dua belas cerita yang diperankan oleh para OC-ku dan akan membuat suasana hatimu naik turun ketika membacanya. Ayo bersiap-siap naik roller coaster bersamaku! -Asahina Mizu-