Keindahan Puisi

14 1 0
                                    

Puisi itu karya yang indah bukan?

Seharusnya memang seperti itu. Namun sepertinya aku harus meralatnya. Puisi akan terdengar indah atau tidaknya itu tergantung pada siapa yang membuat.

∆∆∆

"Nii-chan, aku mau makan itu jugaaa~" rengek Mizu pada kakak kami, Asahina Zen.

"No no no, Mizucchi masih sakit gigi 'kan?" kata Kak Zen sambil mengusap kepala Mizu.

Mizu memang anak yang keras kepala, padahal ia sedang sakit gigi tetapi ia tetap ingin memakan coklat yang dibeli Kak Zen. Kemarin saja dia diam-diam memakan permen di kamarnya. Jika bukan karena aku yang memergokinya, mungkin bengkak di pipinya akan semakin parah.

"Ah, Nii-chan pelit! Izu-nii, ayo beli coklat," katanya tiba-tiba padaku. Aku yang baru saja mengkritiknya di dalam hati segera dibuat naik darah olehnya.

Dengan menarik napas, aku mengancam dengan halus, "Ayo aja, tapi syaratnya harus mau kucubit ya pipinya."

Bergidik, ia pun meninggikan nada suaranya, "IH KOK GITU? KOK IZU-NII JAHAT AMA AKU? AKU KAN LAGI SAKIT GIGI!"

Tak mau kalah, aku pun ikut menaikkan nada suaraku, "I-TU TA-U! KAMU LAGI SAKIT GIGI KOK MAKAN COKLAT?"

Selagi aku dan Mizu bertengkar, adik bungsu kamiーAsahina Mahonーdatang dengan membawa popcorn dan duduk di sofa sembari menonton pertengkaranku dan Mizu. Benar-benar membuat sakit kepala memang sikap adik-adikku ini.

"Mappon, Nii-chan bagi popcorn-nya ya?" tanya Kak Zen pada Mahon. Mahon memang pada dasarnya tidak suka berbicara, jadi dia hanya menjawab dengan satu kali anggukkan.

Sepertinya aku harus meralat perkataanku. Hanya aku diantara saudara-saudaraku yang paling normal. Semua saudaraku membuat kepalaku pusing.

Setelah beberapa saat, akhirnya pertengkaran kami berakhir dengan Mizu yang mengalah. Tentu saja itu dengan disertai tepuk tangan dari Kak Zen. Tunggu, jelas-jelas pertengkaran itu bukan hal yang baik, tetapi bukannya mereka memisahkan kami, mereka justru menonton dan bahkan memberikan tepukan tangan di akhir. Ini benar-benar sudah tidak bisa diteladani.

"Karena aku ga boleh beli coklat, aku mau beli permen ya," ujar Mizu sambil memegang kenop pintu.

Sungguh, aku ingin menggepreknya.

∆∆∆

Rumah kami tidak pernah terdengar sepi. Mulai dari suaraku yang bertengkar dengan Mizu, atau Kak Zen yang heboh pada saat karaoke bersama Mizu, ataupun kekompakan Kak Zen dan Mizu menjahili Mahon.

Aku benar-benar tak habis pikir dengan mereka berdua. Sifat mereka benar-benar mirip. Jika mengabaikan wajah dan memerhatikan sifatnya, mungkin mereka seperti kembar. Padahal, kembaran Mizu yang asli adalah aku.

Namun sebenarnya, terdapat perbedaan besar dari kami bertiga dengan Mizu. Ini sudah menjadi rahasia umum bagi kami bertiga. Dia benar-benar tidak mungkin bisa menyembunyikannya dari saudara-saudaranya.

Aku mengetuk pintu kamar Mizu dan membuka pintunya. Aku melihat Mizu sedang duduk termangu di meja belajarnya.

"Miz, hayo makan. Jangan kemaleman kalo makan, nanti maag-mu kambuh," nasihatku.

"Hm, nanti," jawab Mizu tanpa mengalihkan pandangannya dari bukunya.

Aku mendekati Mizu untuk melihat apa yang sedang ia lakukan. Di depannya, terdapat buku kumpulan puisi dan sebuah buku tulis. Aku pun bertanya, "Kamu mau bikin apaan Miz?"

Roller CoasterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang