Hukuman

13 4 7
                                    

Pelajaran olahraga, pelajaran nomor dua yang paling tidak disukai oleh kami para siswi. Bel sudah berbunyi beberapa saat lalu jadi sekarang waktunya untuk mengganti seragam kami menjadi seragam olahraga.

Setelah mengganti seragam, kami semua pergi ke lapangan dan melakukan pemanasan. Biasanya setelah pemanasan, kami akan berlari mengitari bagian luar sekolah.

Mungkin olahraga kali ini tidak terlalu buruk karena pemandangannya indah. Banyak helaian bunga maupun daun yang berguguran karena tertiup angin ataupun dengan sendirinya jatuh. Tak heran, saat ini memang sedang musim gugur.

Namun bagaimanapun juga, 'olahraga' ya tetap saja 'olahraga'. Mau dilaksanakan dalam musim apapun, ya tetap saja melelahkan.

Saat ini yang sudah kembali lagi ke lapangan sekolah baru lima orang termasuk aku, jadi kami menunggu beberapa saat hingga semuanya terkumpul di lapangan.

Sepuluh menit setelah aku sampai di lapangan ini, guru olahraga kami yang berkepala botak itu sudah menunggu di depan gerbang sekolah sambil mondar-mandir. Perutnya yang buncit itu nampak ikut naik turun saat ia mondar-mandir. Beberapa teman sekelasku mulai menggosipkan guruku itu sambil sesekali cekikikan, tetapi aku sama sekali tidak tertarik untuk bergosip.

Biasanya, guru olahraga kami itu akan memberikan hukuman pada mereka yang memiliki catatan waktu berlari lebih dari 20 menit. Sekarang sudah 45 menit, murid terakhir di kelas kami pun sudah sampai. Ah, dia perempuan. Namanya Matsuoka Mui. Dia memang yang paling payah di kelas kami dalam hal olahraga. Namun meski ia payah dalam olahraga, kemampuannya di bidang lain cukup mengagumkan. Mungkinkah mitos yang mengatakan bahwa orang yang pintar di akademik tidak akan baik di bidang olahraga adalah sebuah kenyataan?

"Sudah saya bilang agar kamu mempercepat larimu! Kau tahu tidak kau ini yang terlamban di kelas?" omel si guru olahraga pada Mui.

Mui menundukkan kepalanya, mungkin tak berani menatap mata guruku itu. Yah, tidak sopan juga sih.

"Nanti di akhir pelajaran, kamu jalan jongkok mengitari lapangan sampai lima kali putaran ya," titah guru olahragaku pada Mui. Mui yang kelihatan lelah hanya bisa mengangguk pasrah.

Setelah acara marah-marah guru olahragaku itu selesai, ia menarik sekeranjang penuh berisi bola basket. Hari ini kami akan belajar mengenai cara bermain bola basket.

Pertama-tama guruku itu mencontohkan cara melakukan dribbling, dan kemudian kami disuruh untuk mengikutinya. Kelihatannya memang mudah, namun saat dipraktekkan tidak semudah itu. Apalagi bagi Mui yang memang payah di bidang ini.

Ia mencoba dribbling secara perlahan, tapi akhirnya bola tidak bisa memantul tinggi sampai-sampai ia perlu membungkuk. Lagi-lagi, ia diteriaki oleh guru olahragaku, "Matsuoka-san! Lakukan dribbling-nya dengan benar! Buat bolanya memantul lebih tinggi lagi. Jangan ragu untuk memantulkan bolanya dengan lebih keras dan cepat!"

Mui sepertinya sedang berpikir dan meyakinkan dirinya. Tidak ada yang bisa melihat ekspresi wajahnya dengan benar karena poni Mui yang menutupi matanya. Tidak ada yang tahu mengapa Mui tidak pernah mau memotong poninya agar matanya terlihat. Mui cenderung pendiam dan pemalu jadi sampai sekarang, belum ada yang pernah melihat mata Mui.

Ia pun mencoba melakukan dribbling lagi. Sayangnya, bolanya memantul terlalu tinggi hingga berjalan menjauh dari lapangan. Mui terus mengejarnya tapi tiba-tiba ada bola lain yang menggelinding dan membuatnya terjatuh.

"Aduh, Matsuoka-san, maaf ya! Apa kau tidak apa-apa?" tanya teman sekelasku yang juga tidak sengaja membiarkan bolanya menggelinding jauh.

Mui mengangguk mengiyakan, kemudian kembali berlari ke arah bolanya tadi pergi. Namun tiba-tiba ia berhenti lalu menoleh ke kanan dan kiri. Sepertinya ia kehilangan jejak bolanya.

Roller CoasterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang