ES 1. Harapan

1.7K 107 29
                                    

Algis Ganendra Ardani. Nama yang sempurna untuk soaok yang hyper seperti dirinya. Lahir di Jakarta 30 September , tepat enam belas tahun yang lalu.

Ardan sapanya. Si cowok pemilik bibir tipis dengan gaya yang tengil. Sudah sepekan dirinya tinggal di rumah sakit, bukan karena dia sakit parah, bukan karena buat masalah di sekolah dan berakhir di rumah sakit. Hanya saja, Ardan terlampau hyper dengan segala tingkahnya dan berakhir masuk rumah sakit.

Ardan memang sehat, sehat walafiat, dia tergolong siswa yang tidak bisa diam. Bahkan segala hal akan dia lakukan, termasuk bermain futsal, bola basket dan mengisi waktu luang ketika pulang sekolah dengan anak-anak band.

Hanya saja, keaktifan Ardan tidak pernah di dukung apalagi di lirik oleh sosok yang tak pernah mengharapkan hadirnya. Ardan itu rapuh, hanya orang terdekatlah yang tahu siapa Ardan. Dirinya terlampau sempurna untuk menyembunyikan sifat yang super membuat orang lain akan menggeleng setelahnya.

"Bang Panji mana Mi?" tanya Ardan. Cowok itu akan duduk diam jika sudah melihat Kakak kesayangannya. Dia tidak akan pernah mampu untuk melawan walau sebatas membantah ucapan Kakaknya.

"Abang kamu tadi keluar, kenapa?" balas wanita yang sejak pagi tadi sibuk mengurus putra bungsunya. Ardan menggeleng, rasanya bosan, tapi dirinya tidak bisa melakukan apapun. Yang Ardan ingin saat ini adalah melihat Papa.

"Kamu kenapa ngelamun? Inget lho, ini akibat kamu yang ngga bisa diam, sampai kepeleset di tangga sekolah, untung guru kamu ngabarin. Dan beruntungnya, Abang Kamu juga lagi ada di rumah. Coba kalau dia ngga ada, siapa yang mau jemput kamu, Dek?"

Ya, jelas. Sudah pasti dan tidak bisa di pungkiri, jika satu-satunya wanita di rumah besar sudah bersabda, Ardan akan memutar bola matanya jengah. Bukan karena tidak suka, melainkan terlalu keseringan sampai membuat Ardan hafal dialog-dialog yang akan keluar nantinya.

Kali ini dirinya hanya perlu duduk diam sambil menunggu Panji, kan? Tapi mengapa perasaannya tidak karuan, seolah mengisyaratkan kalau Panji akan pulang lebih lama.

Ardan terus menatap jam yang terpasang manis di dinding tepat di depannya.

"Mi, Bang Panji mana, katanya sebentar, tapi kok belum pulang? Kayaknya dia mangkal deh, Mi."

"Ngawur! Udah tidur aja, Mami dari tadi nemenin kamu, tapi kamu ngga tidur-tidur."

Ardan terkekeh, dia tidak lupakan satu hal tentang bagaimana Ibunya berceloteh. Justru Ardan lebih suka mendengar celoteh Panji meski Kakaknya itu irit bicara.

Ardan tidak bisa membayangkan kejadian di sekolah minggu lalu yang mengharuskannya untuk tetap beristirahat.

🍭🍭

Hari semakin siang sementara Panji masih belum kembali. Sejak tadi, Ardan hanya merengek ingin segera pulang, dia sudah benar-benar bosan berada di ruang yang ukurannya setengah dari kamar miliknya.

Yang Ardan tahu dirinya terpeleset, bukan di dorong atau sengaja mencelakai dirinya sendiri. Tapi, sekali lagi apa yang dia rasa biasa saja justru berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh Ibu dan Kakaknya.

Ardan cukup hafal jika Kakaknya cemas Kakaknya akan menjadi lebih protektif, sungguh itu menyebalkan untuknya.

"Mi, telepon Bang Panji.. boleh?" tanyanya, Ardan menyerah kalau sudah bosan dirinya akan diam sesekali jemarinya ia remat kuat, rasanya berbeda sekali. Siang ini bukan hanya ada Ibu, tapi ada Ayahnya yang juga datang atas perintah sang istri.

"Percuma saya ke sini, cuma lihatin dia, mending saya kembali ke kantor, buang-buang waktu berharga saya."

Ardan tidak tahu apa yang ada di pikiran Papa-nya, dirinya hanya bisa diam, walau rasanya sakit mendengar setiap kata yang diucapkan pria itu.

"Pa, jangan gitu, Ardan lagi sakit, kamu luangin waktu sedikit untuk dia, bisa ?"

Tidak, jangan harapkan apapun tentang waktu luang. Semua waktu pria itu habis hanya untuk bekerja, bahkan pria itu memilih untuk menyewa apartemen, karena tidak ingin melihat Ardan.

Sejak lahir Ardan memang bukan anak yang diinginkan, memiliki Ardan sama halnya menjerumuskan diri ke dalam jurang.

Ardan tersenyum, walau hatinya tidak baik-baik saja. Setidaknya Papa-nya telah berusaha meluangkan waktu untuk datang.

Lama menunggu, suara pintu terbuka membuat mata Ardan berbinar, sejak tadi keresahannya terobati. Melihat siapa yang datang dengan sebuah kantung belanjaan di sebelah tangannya.

"Papa di sini, tumben?"

Ada nada tak suka yang cowok itu lontarkan, tatap tak suka yang tak pernah bisa terbaca oleh Ardan.

Awalnya Ardan hanya mengira kalau Kakaknya sedang kesal atau memang tidak ingin berbicara pada Papa-nya. Namun, semua praduga itu salah. Ardan salah menilai, dia tidak pernah bisa menebak apa isi pikiran Kakaknya.

"Ya. Itu karena Mami kamu, untung Papa masih cinta."

Bukan hal yang aneh jika pria itu mengatakannya begitu dingin. Karena memang sejak awal hadirnya Ardan semua cintanya berkurang, semuanya perlahan seperti angin lalu yang berembus begitu saja.

"Udah ada aku, jadi Papa boleh pergi. Sibuk, 'kan?"

Senyum sinis dengan sebelah bibir yang terangkat. Pria itu melangkah keluar usai menepuk bahu putra sulungnya. Tidak ada pamit atau ucapan sampai ketemu, tidak ada usapan lembut atau sekadar memberi senyum, semua hanya impian. Bukan sebuah kenyataan yang akan dia dapat setiap detik.

🍭🍭

Setelah seharian, malam ini Ardan baru bisa terlelap. Anak itu akan merasa lelah jika sudah banyak bicara, untung saja Panji mengerti sifat adiknya yang super berisik itu. Sejak sore tadi, Ardan terlalu banyak bicara, mengatakan hal yang menurut Panji tidak berguna. Namun, anak itu tidak akan berhenti berkata kecuali dirinya sudah lelah.

Alsha, Ibu mereka pulang lebih dulu karena harus mengurus rumah sebelum suaminya kembali dari kantor. Tadi, sebelum pria itu pergi, Alsha mengikutinya, mengatakan banyak hal walau wanita itu tahu jawaban suaminya akan selalu menyakiti perasaan.

"Lo itu kenapa sih, suka banget buat gue khawatir, Gis."

Gumam Panji setiap kali melihat adiknya terlelap begitu damai. Dirinya sempat tidak mengira kalau akhirnya akan menjadi serapuh sekarang.

Panji juga tidak pernah membayangkan kalau masa kecilnya dulu menjadi akhir pertemuan manisnya bersama sang Ayah.

"Gue janji, gue akan jagain lo terus sampai lo sadar, kalau cara lo itu salah dan nyiksa diri sendiri."

Waktu memang tidak bisa di harapkan, apalagi harus mengharapkan sesuatu yang mustahil akan diraih. Setiap saat adalah panjang bagi Panji untuk melakukannya, menjadi sosok yang sama sekali harusnya ia tidak pernah dilakukan. Hanya saja, Panji bukan orang yang banyak bicara seperti Ardan, dia akan menunjukkannya jika dia mau, bukan sebatas kata tanpa tindakan.

Salam manis NJ 😊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Salam manis NJ 😊. Terima kasih, jangan lupa vote dan komentar ya, supaya aku makin semangat lagi nulisnya. 😊

Publish, 29 September 2020

EVERY SECOND ✔( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang