ES. 9 Ragu

348 47 0
                                    

Panji terkejut ketika melihat Pitter, Nakula dan Ardan yang baru saja keluar dari lift. Matanya melirik Ardan yang berada dibalik punggung Pitter. Anak itu tampak ketakutan, tidak biasanya Ardan seperti sedang melihat orang asing.

Panji tidak tahu apa yang terjadi. Tapi, ketika melihat sudut bibir Ardan yang lebam, cowok itu langsung menarik adiknya begitu saja. Ardan memalingkan wajahnya setiap kali Panji melihatnya.

Ada geram tersembunyi yang panjo coba tahan sejak pagi tadi. Ada amarah yang coba ia redam sejak di kampus, ketika Sabit memberitahu Panji akan keberadaan anak itu.

Sebenarnya Panji ingin segera pergi, tapi ia masih harus menyelesaikan beberapa mata kuliah yang membuatnya gelisah.  Panji tidak pernah merasa sekesal sekarang dengan Ardan, bahkan ketika anak itu menangis di hadapannya Panji biasa saja. Tapi saat ini situasinya tidak sama, situasinya anak itu datang dengan percaya diri untuk bertemu dengan Aries yang jelas-jelas membenci keberadaannya.

"Pake otak lo Gis! Gue ngga pernah ajarin lo bohong begini, Mami juga ngga pernah ngajarin lo buat jadi orang lemah dimata mereka, termasuk Papa!"

Keras suara Panji membuat Nakula dan Pitter tersentak. Ketika mereka berhasil pergi dari apartement Aries. Panji membawa ketiga remaja itu ke sebuah rumah petak yang tak jauh dari tempat tinggal Aries.

Ardan tidak mengerti, semuanya seperti dibawa begitu saja. Seperti sebuah bisikan halus yang meminta dirinya untuk segera menemui Aries. Akan tetapi, langkahnya terhenti ketika pintu di hadapannya terbuka lebar dengan pria bertubuh kekar berdiri di sana.

Matanya membelalak, saat tangan besar itu menariknya paksa tanpa permisi. Ardan meringis ketika tubuhnya dijatuhkan begitu saja di atas lamtai yang dingin.

Samar suara itu bahkan tak bisa Ardan dengar... yang Ardan tahu pria itu ingin dirinya pergi sejauh mungkin. Ardan memang tidak mendengarnya, tapi Ardan masih bisa menangkap semuanya dengan jelas bagaimana bibir itu bercakap sesuka hati.

Ingatannya kembali pada bayangan masa lalu yang menampar dirinya sampai pria itu menoreh kebencian pada Ardan.

"Saya ngga pernah menginginkan kamu lahir ke dunia, kamu adalah kesalahan, enyakit dan pembawa bencana dalam hidup saya."

"Ngga!" teriak Ardan tiba-tiba. "Lo kenapa, Gis?" tanya Nakula.

Ardan menatap kedua sahabatnya bergantian, wajahnya berubah sendu. Matanya berkaca-kaca. Anak itu hampir saja membuat ketibutan di tengah terik yang menyengat.

"Nyari Kak Panji?" tanya Nakula lagi, kali ini Nakula berbicara begitu sabar membiarkan Ardan menangkap apa yang dia ucapkan. Ardan menggeleng, membiarkan angin alam berembus menerpa wajahnya.

"Kita kenapa di sini?" tanya Ardan. Kali ini Pitter berinisiatif menulis jawabannya diatas kertas yang sudah ia siapkan. Lagipula, Pitter sadar, dirinya tidak akan sabar jika Ardan sedang dalam keadaan tidak stabil.

"Tadi lo debat sama Bang Panji, ngga lama lo pingsan jadi kita bawa lo ke sini."

"Terus Bang Panji ke mana?" tanya Ardan lagi. Pitter kembali menuliskan jawabannya, begitu telaten.

"Lagi cari sesuatu katanya. Udah lo istitahat dulu, lo bisa kasih tahu kita kapanpun."

Ardan mengangguk. Ia tidak bisa mengingat apa yang sebenarnya ia lakukan saat bersama Aries.  Tapi penglihatannya jelas-jelas menangkap bagaimana pria itu bersuara meminta dirinya untuk pergi.

🍭🍭

Lama menunggu Panji kemabali, Ardan memilih duduk di teras rumah petak itu, menatap angkasa luas yang membentang tinggi di atas sana. Ardan tak pernah membayangkan jika takdir membawanya pada detik yang berputar-putar seperti permainan kora-kora.

EVERY SECOND ✔( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang