ES. 17 Trauma

573 37 0
                                    

Senyum bukan berarti adalah bahagia, karena senyum juga bisa sebagai luka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senyum bukan berarti adalah bahagia, karena senyum juga bisa sebagai luka.

🍭🍭

Kejadiannya begitu cepat. Bahkan ketika Ardan hendak melangkah keluar saja kakinya bergetar, ia kehilangan pijaknya. Ia kehilangan semua yang terpikir sebelumnya. Saat ini dirinya hanya ingin melihat Panji. Bukan karena dia kesal karena permennya terjatuh. Tapi, ada khawatir dan cemas yang menjadi bayang ketakutan cukup dalam di pikirannya.

Ardan kembali kehilangan pendengarannya, seolah alat bantunya tak lagi berfungsi. Kini anak itu telah berada di halte bus. Sejak pergi dari kantin dirinya tak bersuara. Jam pelajaran terakhitnya ia lewatkan, tak peduli akhirnya ia akan dipanggil ke ruang BK. Saat ini Ardan hanya ingin sendiri, benar-benar sendiri. Pikirannya kacau apa yang didengarnya hilang dalam sekejap, semua masa kelamnya berputar tanpa ijin. Anak itu meremat kuat rambutnya, menggigit bibir bawahnya sampai berdarah.

Dia hanya kesal dengan dirinya yang tak bisa melakukan apapun. Bagi sebagaian orang Ardan memang tidak berguna, tidak bisa diandalkan, apalagi dimintai bantuin yang lebih. Berbeda dengan Aries, pria itu selalu menganggap anaknya sendiri sebagai penyakit yang selalu meresahkan.

"Aku kangen Abang, Mi." gumamnya.

Ardan tidak peduli apa yang orang lain katakan, dirinya seperti orang tak waras kali ini. Dia sungguh kesal, dia hanya menunduk tak mau mengangkat pandangnya, pdahal sejak tadi dia diajak bicara oleh beberapa orang yang melintas melewatinya.

Saat ini Ardan hanya sendirian, kan? Lalu aoa gunanya dia bicara pada orang lain sementara dirinya tak mau bersuara?

"Gis?" Itu Pitter, cowok itu sudah cukup alama berdiri jauh memandang Ardan sejak ia tahu Ardan melntas melewati gerbang sekolah.

🍭🍭

"Pit, dia ngga di perpus, kita cari kemana lagi?"

Waktu yang membawa mereka menjadi resah, membiarkan Ardan sendirian. Sejak meninggalkan kantin di jam istirahat kedua, mereka memang masuk ke kelas masing-masing. Namun, pikiran Pitter tidak di sana. Dia melirik kursi kosong di sebelahnya di sana hanya ada tas hitam milik Ardan, namun si pemilik tidak ada di sana.

"Lo kemana sih, Gis?" pikirnya. Dia tidak pernah berpikir kalau kejadian saat di kantin malah membuat dirinya seresah sekarang. Bahkan saat Pak Luki mnjelaskan materi, Pitter tidak mendengarkannya, sampai jam pelajaran berakhir disertai bel pulang berbunyi nyaring. Cepat-cepat Pitter membereskan buku pelajarannya lalu menyambar tas milik Ardan untuk segera melesat keluar kelas.

Pitter sengaja tidak memberitahu Nakula, dia khawatir kalau kehadiran Nakula membawa hal yang tidak diinginkan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dari Pitter, dia hanya ingin meluruskan kekeliruan yang terjadi antara Nakula dan Ardan. Maka di sinilah dia, berdiri jauh dari Ardan. Cowok itu menangkap setiap kali Ardan memaki dirinya sendiri. Menepuk kepalanya, juga menarik rambutnya seolah kesalahnnya sangat besar dan sulit di maafkan.

EVERY SECOND ✔( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang