ES 2. Gimana Rasaya?

1K 84 30
                                    

Setelah sepekan, hari ini Ardan sudah di perbolehkan pulang. Dokter telah mengatakan kalau hasil lab Ardan bagus, walau ada sedikit keretakan dibagian tulang belakangnya, Ardan harus tetap hati-hati. Akibat terpeleset waktu itu ia harus di larikan ke rumah sakit. Bagi sebagian orang terpeleset adalah hal yang lumrah dan akan mengatakan kurang hati-hati.

Namun, untuk hal sekecil itu, bagi Ardan adalah bencana. Dia bahkan tidak pernah memikirkan akibatnya, jadi jangan salahkan Ardan jika dia harus ke rumah sakit setiap kali terpeleset.

Ardan itu hyper, apapun bisa dia lakukan, apapun bisa dia tiru, jika terpeselet adalah kecerobohan, Ardan tidak melakukannya dengan sengaja. Bahkan ini bukan kali pertama Ardan mengalaminya. Sudah sering, biasanya hanya terkilir lalu di urut oleh Panji. Hal kecil utnuk Ardan, tapi tidak untuk Panji

Panji cukup tahu bagaimana adiknya bertingkah, seperti orang kurang asupan, apalagi kalau sudah heboh dengan sebuah film favoritnya. Anak itu akan banyak bicara dan meniru setiap gaya pemainnya.

"Gue cuma ngasih tahu sekali, jangan buat gue tambah emosi. Dengar Ar?!"

Percuma saja, anak itu akan mengangguk namun tidak benar-benar dengarkan dengan baik. Ardan hanya anak remaja biasa yang ingin main dan bermalas-malasan sesuka hati.

"Gis! Dengar ngga, sih?"

"Iya, Kakakku sayang, ada apa sih, sewot terus deh kerjaannya."

Jika Ardan sudah memanggilnya bergitu, artinya dia memang mendengarkan. Meski ada rasa kesal jika adiknya memilih dengan dunianya sendiri. Menurut Dokter Sahwa Ardan hanya butuh istirahat sehari lagi agar tubuhnya benar-benar pulih. Tapi, anak itu tidak akan tenang kalau Kakaknya belum bersabda untuk memperingati jangan sekolah sebelum waktunya.

"Lo harus di rumah, jangan keluyuran apalagi mangkal di rumah Pitter."

"Yah. Gak asik banget sih, gue berasa jomlo kalau gini caranya."

"Ya, terserah, kalau lo gak mau mati muda, gue sih bodo amat."

Jangan katakan apapun setelah ini. Ardan memang suka membantah, apapun yang di rasa kurang enak dia akan mengomentari meski hal kecil sekali pun.

"Huh! Selalu begitu, sekali aja buat gue seneng, susah banget kayaknya."

Panji tidak menyahut, cowok itu memilih menyibukkan dirinya dengan membereskan beberapa pakaian ke dalam tas, setelah di rasa sudah semua dan siap dibawa pulang. Suara Ardan tidak lagi terdengar, Panji melirik sebentar sebelum akhirnya ia memekik kesal karena ulah Ardan yang sembarangan.

"Ar, gue bilang turun dari sofa itu, nanti lo jatuh lagi."

Ardan tidak peduli, anak itu justru berceloteh dengan bangganya sambil berjalan ke sana ke mari di atas sofa.

"Dasar anak tidak tahu diri, kamu pikir saya suka melihatnya? Harusnya saya tidak datang, kalau tahu kamu berpura-pura."

Suara barinton yang tiba-tiba itu berhasil menghentikan Ardan, membuat Panji mengalihkan tatapnya pada sosok yang berdiri diambang pintu kamar Ardan yang memang tidak tertutup rapat.

"Aku juga ngga berharap Papa datang, tapi tolong hargai perasaan aku, Pa." kata Panji. Cowok itu justru sudah melangkah lebih dulu untuk mendekat. Sementara Ardan, anak itu memilih duduk diam di sofa membiarkan nyaring suara teriak Panji dan Papanya menggema di sana.

Ardan cukup paham apa yang di katakan kedua pria yang masih berdiri di sana. Membiarkan semuanya berkicau bagai burung. Hanya saja, Ardan tidak sekuat itu pendengarannya selalu bermasalah ketika suara nyaring mulai menusuk masuk tanpa permisi.

EVERY SECOND ✔( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang