Ada hal yang lebih menyakitkan dari sebuah serpihan beling dan tertusuk jarum. Ada hal yang lebih pedih ketika mengiris sebuah bawang. Ada kisah yang lebih menyentuh dari sebuah dongeng Putri Salju.
Ini hanya perlu waktu bukan sekadar datang lalu pergi. Bukan juga sebatas meminta lalu lupa berterima kasih. Maka di sini telah di simpulkan bahawa, hadirnya ada namun tak berharga.
Malamnya terasa panjang, matanya sulit terpejam, bahkan nama Panji selalu melintas di kepalanya. Ingin bahagia namun selalu patah.
"Tidur Gis."
"Kalau tidur bisa membantu untuk melupakan malam ini, terus gimana besok?"
Sejak tadi Ardan hanya mebgulang kalimat yang sama, menanti esok dan berakhir menyedihkan. Pikirannya sudah sangat lelah, tapi setiap kali memejam kalimat menyedihkan itu seperti kutukan yang akan terwujud.
"Episode kali ini hilang ditelan surya, terus besok apa ?" kata Ardan tiba-tiba. Pitter tertawa, lalu menepuk bahu Ardan dan duduk bersamanya dibawah sinar bulan yang tidak begitu terang.
"Besok sekolah dan mata pelajaran Bu Huri, tugas lo mau ngerjain beliau lagi?" kekeh Pitter. Ardan tersenyum, Pitter memang bukan orang yang bodoh untuk memahami maksud Ardan. Dia tahu hanya saja dia bosan melihat wajah murung Ardan.
"Gila lo, gue udah tobat." katanya, lalu tertawa, meski begitu tidak dengan pikiran dan hatinya yang meronta ingin bertemu Panji.
"Duduk begini di bawah rembulan seru juga."
"Sejak kapan lo nangis dalam diam ?" tanya Pitter tiba-tiba. Ardan menoleh cepat, lalu terkekeh, ia menyugar rambutnya sebelum bangkit dan melangkah sedikit ke pagar pembatas balkon rumah Pitter.
"Sejak gue tahu Papa ngga suka sama gue." balasnya begitu ringan. Ia hanya tak ingin dikasihani oleh orang lain, karena menunggu waktu yang tepat tak akan berarti lagi saat ini. Ardan hanya lelah dalam waktu yang lama, tapi harapannya selalu memaksa untuk tetap berusaha, walau berakhir dengan cara yang sama.
"Tante Alsha tadi ngabarin gue, Bang Panji mau dibawa keluar kota untuk menjalani perawatan khusus." ucap Pitter. Ardan menatap langit di atas sana, lalu bergumam. Seolah meminta kalau batinnya tersiksa.
Ardan pernah ditinggal sekali oleh Panji, ketika kakaknya sedang studi tur keluar daerah. Sepanjang malam Ardan menatap langjt, berharap Panji akan segera pulang. Dan .... hari ini kabar yang sama kembali membawanya pada luka lama.
"Sejauh apapun Panji pasti ingat gue, gue adiknya, gue saudaranya, gue ..."
Ucapnya tertahan, seperti dulu ketika Panji mengucap janji yang Ardan pikir hanya sebatas janji persaudaraan, tapi kini janji itu seperti sebuah pertanda kalau Ardan memang orang yang akan selalu Panji tunggu. Atau mungkin sebaliknya, Ardan-lah yang akan selalu menunggu Panji kembali.
🍭🍭
Pagi ini Ardan terlambat bangun, tidak seperti biasanya. Padahal sejak subuh Pitter sudah membangunkannya berkali-kali. Tapi jawabannya selalu tunggu lima menit lagi. Karena gemas Pitter memilih jalan yang paling Ardan tidak suka.
Setelah membangunkan Ardan dengan menyeretkakinya sampai Ardan terjatuh dari ranjang. Kini, mereka sudah berada di meja makan, bahkan ketika Pitter benar-benar menyiramkan begitu tega Ardan terus menggerutu.
"Lo kejam!" katanya kesal. Kedua tangannya sudah ia lipat di depan dada sambil mengerucutkan bibir tipisnya.
"Gue bukan kejam, kalau ngga begitu lo gak akan bangun, kita udah terlambat, lo mau dihukum sama Bu Huri karena terlambat?" balas Pitter. Ardan memberengut sebal mendengad penuturan Pitter yang terkadang ada benarnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/242292517-288-k587376.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
EVERY SECOND ✔( Sudah Terbit)
Fiksi Remaja(REVISI) Ardani tidak pernah bepikir, kalau hidupnya akan menjadi seperti kaki meja yang rapuh, jika tidak di rawat dengan baik. Ardani juga tidak pernah bermimpi kalau dirinya harus menjalani hidup seperti kora-kora yang selalu mencari tahu siap...