ES. 11 Bingkai Lama

317 42 15
                                    

Semua anak biasanya menanti waktu berkumpul untuk sarapan pagi bersama. Di meja makan yang sama, sambil bergurau membicarakan hari kemarin bersama anggota keluarga. Semua itu sangat didambakan oleh semua anak remaja seusia Ardan.

Sejak kecil Ardan sama sekali tidak pernah merasakan bagaimana rasanya di sentuh oleh Papa, di gendong, apalagi diusap pucuk kepalanya dengan lembut sambil tersenyum. Ardan bahkan ketika anak itu terluka karena terjatuh pun pria yang selalu ia idolakan selalu abai.

Kali ini sosok itu datang dengan begitu bangganya melangkah mendekati meja makan. Dengan sebelah tangan yang ia masukkan ke dalam aaku celana bahan miliknya. Matanya tertuju pada Ardan, sesekali anak itu melirik ke arah Aries.

"Papa ngga perlu repot buat nasihatin aku, aku sudah mengerti semuanya." balas Panji. Sejak beberapa menit setelah Aries bertanya, Panji baru menjawabnya.

"Panji... Panji... Panji. Kamu itu pintar, Papa membesarkan kamu bukan untuk membantah orang tua, tapi kamu membela anak yang tidak berguna seperti dia?"

Tawa getir dari Panji membuat Alsha menatap tak suka pada Aries. Sejenak wanita itu berdiam setelah melihat sebuah amplop yang beberapa menit lalu dilemparkan di atas meja oleh Aries.

"Surat gugat dari pengadilan. Aku sudah mengurusnya, kamu hanya perlu datang dan urusan kita selesai sampai di sini."

Suara Aries berhasil mendominasi di ruangan itu. Membuat Ardan yang semula tenang, kini benar-benar menatap pria yang masih berdiri di sana, dengan beraninya mrngatakan hal yang menyakitkan.

"Detik ini kamu tidak ada hubungan dengan saya, hak asuh anak akan segera menyusul."

"Aku hadir sebagai hama untuk Papa, 'kan?"

Samar suara Ardan memalingkan semua pandang mata menatap ke arahnya. Dia mrnunduk dengan kedua tangan yang sudah mengepal di atas kedua pahanya.

"Sejak kamu bersemayam dalam rahim Alsha pun aku tidak pernah menerima kamu. Harusnya kamu pergi dari dulu." balas Aries begitu santai. Tangan Panji sudsh gatal rasanya, sejak tadi mendengar ucapan Aries seperti mendengar suara siulan kematian untuk pria itu sendiri.

"Lalu kenapa dipertahankan jika kalian harus berpisah? Kalau Papa tidak menerimaku, apa aku bukan anak Papa? Apa aku anak dari orang lain? Siapa ? Siapa Papaku?" katanya lirih. Panji mengulurkan tangannya untuk mengusap punggung Ardan yang sudah mulai bergetar, anak itu menangis dalam diam.

"Aku ini siapa?" tanyanya, sebelum akhirnya Ardan bangkit dan pamit untuk pergi.

Anak itu mengusap air matanya yang terus berjatuhan. Langkahnya begitu cepat tanpa peduli panggilan Panji dan Alsha yang terus menyerukan namanya.

Ardan pernah bertanya pada semesta tentang dirinya dan juga identitasnya yang selalu ia pertanyakan dikala malam tiba sebelum tidur.

Semua orang berhak memilih jalannya bukan berarti bisa dipermainkan oleh takdir dengan segala hal yang menyebalkan, 'kan?

Ardan terlalu rapuh jika harus merasakan sakitnya penolakan setkap detiknya. Setiap kali Aries menyalahkan dirinya atas apa yang tidak anak itu lakukan. Ardan seperti permen, yang manis di hadapan semua orang tapi jyga seperti kopi hitam tanpa gula.

Tajam ucapan Aries adalah sesuatu yang paling Panji benci sejak dulu. Kini... semuanya berakhir dengan jejak yang begitu dalam bagi Ardan dan Panji.

"Papa egois! Papa ngga sayang aku, kalau akhirnya Papa nyakitin aku dengan cara kayak gini. Papa boleh ngga suka Ardan, tapi Papa ngga bisa nyakitin Mami." katanya. Setelah mengucapkan hal panjang, Panji segera menyusul Ardan yang sudah pergi menimggalkan rumah.

EVERY SECOND ✔( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang