Kabar tentang Panji membuat Nakula dan Ardan terkejut. Bahkan ketika Nakula baru membuka pesan dari Pitter matanya membelalak tak percaya, sungguh. Memang itu ponsel Ardan, kebetulan Nakula sedang meminjamnya.
Ardan sempat tidak ingin datang ke runah sakit, mengingat terakhir kali bertemu Aries... anak itu menjadi murung seketika, padahal sebelumnya Ardan sudah membaik, kali ini tidak. Sabit saja sudah berusaha membujuk Ardan, dan hasilnya anak itu tetap menolak, lalu mengatakan kalau di sana akan ada papa.
Membujuk Ardan sama seperti meminta sebuah balon pada anak kecil yang sedang diam. Sudah satu jam lebih Ardan masih dalam posisinya, menunduk dengan kedua kaki yang ditekuk sebagai tumpu dagunya yang diletakan di sana.
"Gis, Kak Panji butuh lo ada di sana, yuk gue sama Kak Sabit yang anterin," ucap Nakula pelan. Ia mengusap punggung Ardan perlahan membiarkan anak itu luluh dengan sendirinya.
"Papa ada di sana, gue ngga mau. Gue... ngga gue ngga bisa."
"Gis, terakhir kali lo harus lihat Kak Panji, sebelum lo nyesel. Lihat pesan yang dikirimin Pitter barusan. Papa lo akan bawa Kak Panji jauh dari sini, Gis, kita harus ketemu sebelum terlambat."
"Gue ngga percaya sama semesta dan takdir. Selama ini gue udah nunggu Papa buat menoleh ke belakang dan menatap gue. Tapi apa? Takdir sekali lagi merebut itu dari gue, sekarang tentang Panji... besok apa?"
Sejenak Nakula terdiam, tangannya ia ulur kembali dan membuang napas beratnya. Jujur sejauh yang ia kenal, Ardan sangat jarang menceritakan isi pikirannya, beban yang selalu dilihat baik-baik saja ternyata tidak semudah itu bila dibayangkan.
Kali ini Ardan benar, takdir itu sejatinya tidak pernah terlihat bahkan semesta yang begitu sempurna mengatur kehidupan manusia saja, masih sulit untuk ditebak akan berakhir bagaimana.
"Gis, sekarang Panji lagi butuh kamu," ucap Sabit untuk terakhir kali. Lalu ia pun bangkit dan dan berjalan ke arah pintu sebelum suara Ardan kembali menarik perhatiannya dan memutuskan untuk pergi bersama.
🍭🍭
Ardan tidak buta. Anak itu juga tidak bisu, tapi mengapa semuanya terasa kelu saat ia hendak mengeluarkan kata-kata semuanya buyar. Sosok Aries lagi-lagi dengan bangganya berdiri tanpa peduli ramai oengunjung rumah sakit yang berjalan ke sana dan ke mari.
Rasa cemas itu kembali menjadi satu alasan Ardan untuk tetap diam dan menunduk, padahal di dalam sana sesrorang telah menunggu hadirnya datang. Ada sesak ketika Ardan menatap wajah Aries yang dingin dengan tatap tajam tanpa ampun. Ada getar ketika ia mengucap Aries dengan sebutan Papa.
Anak itu hanya mampu meremat ujung bajunya kuat-kuat ketika Aries berdiri tepat di hadapannya.
"Saya hanya beri kamu waktu sebentar untuk menemui Aguero. Dia bukan Panji yang kamu punya selama ini, jadi... berhenti menjadi penyakit dan pergilah yang jauh setelah ini, mengerti?"
Samar suara itu membuat Ardan tak percaya, ia pun memberanikan dirinya untuk mengangkat pandang agar dapat melihat jelas senyum di wajah Aries. Sial! Ardan lagi-lagi tak mampu menemukan letak sabit yang selama ini dicarinya.
"Aku akan pergi sejauh yang Papa mau. Tapi ijinin aku buat ketenu Abang," katanya lirih. Tatapnya sendu, getar bibirnya tak lagi mampu menahan sesak ketika harus menghilang dari hadapan Panji.
"Baik. Tapi satu lagi, jangan panggil saya Papa. Karena saya bukan Papa kamu." ucap Aries sambil mendekatkan wajahnya di depan Ardan. Membuat anak itu terpaku untuk sesaat. Seperti guntur yang menyambar ketika mega mendung akan turun, begitu juga dengan Ardan. Anak itu hampir saja kehilangan pijaknya, setelah nenndengar apa yang selama ini ia takutkan. Kini menjadi kenyataan. Dan kenyataan itu adalah harus merelakan apa yang sudah ia jaga sekuat tenaga. Menbiarkan apa yang sudah digenggan harus dilepas begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
EVERY SECOND ✔( Sudah Terbit)
Fiksi Remaja(REVISI) Ardani tidak pernah bepikir, kalau hidupnya akan menjadi seperti kaki meja yang rapuh, jika tidak di rawat dengan baik. Ardani juga tidak pernah bermimpi kalau dirinya harus menjalani hidup seperti kora-kora yang selalu mencari tahu siap...