ES. 12 Badai yang akan datang.

356 37 1
                                    

Satu hari bersama Nakula sebenarnya tidak buruk, hanya saja sejak pulang sekolah Ardan hanya diam, menjawab bila ditanya. Lalu dia akan bungkam meski gaduh suara Pitter dan Nakula begitu berisik.

Bahkan ketika jam pelajaran terakhir Ardan hanya berbicara tentang sesuatu yang Pitter sama sekali tidak mengerti. Menurut pengamatan Nakula, Ardan pernah mrngalami traumatik yang menyangkut mentalnya. Seceria apapun Ardan di depan semua orang pasti akan berakhir dengan wajah murung ketika sepi. Sama seperti saat ini, Pitter dan Nakula tengah asik dengan game online yang mereka mainkan di ponsel masing-masing. Sementara Ardan hanya diam membisu dengan berbaring di atas ranjang milik Nakula.

"Dan, lo diem terus kenapa sih?"

Awalnya Pitter membiarkan suasa ruangan itu gaduh, namun melihat sikap Ardan yang menyebalkan Pitter merasa terusik, tidak seperti Ardan yang berisik suka mengganggu ketika mereka berdua bermain.

Suara Pitter juga telah berhasil mengalihkan pandang Nakula dari ponselnya, menoleh menatap Pitter yang masih saja memandangi Ardan.

"Papa sama Mami mau pisah, gue harus gimana?" pelan suara Ardan membuat Pitter langsung melompat ke ranjang dan duduk bersila menghadap Ardan.

Awalnya Ardan bungkam untuk masalah yang mengusik ketenangannya hari ini, tapi Ardan rasa ini bukan masalah yang bisa dia simpan sendiri, dia tahu keadaannya tidak seperti Pitter dan Nakula, atau anak remaja seusianya diluar sana. Dirinya terlampau rapuh dan tak mampu menyimpan semua masalah sendirian. Maka Ardan selalu memutuskan walau akhirnya keputusan itu terkadang salah.

"Ngga mungkin, Papa lo itu sayang banget sama Tante Alsha, apalagi sama Bang Panji," sahut Pitter, Ardan menoleh menatap Pitter sebentar lalu tertawa hambar.

"Iya Panji, bukan gue."

"Gis, ngga gitu... lo ngga cocok kalau galau begini kayak ikan maskoi Kak Sabit tahu ngga sih?"

"Gitu gimana? Gitu yang lo maksud itu apa ? Bahkan sejak kecil aja Papa Aries ngga pernah mau gue dekat-dekat."

Nakula bungkam, benar apa yang dikatakan Pitter ketika mereka pulang bersama dua hari lalu. Ketika Ardan tidak masuk sekolah karena urusannya dengan kesehatan harus diutamakan.

Pitter pernah mengatakan kalau Ardan memiliki gangguan mental yang cukup serius, bahkan ketika ia sedang bermain bersama Ardan saja, anak itu masih bisa menyakiti dirinya karena tidak bisa menjangkau papanya walau jaraknya sangat dekat.

Rumah Pitter dan Ardan hanya berjarak dua blok, jadi mereka masih bisa bermain bersama walau sebenarnya hanya Pitter yang selalu berkunjung. Terakhir kali Ardan keluar rumah anak itu malah menghilang dan tak tahu jalan pulang.

Pitter sendiri awalnya tidak percaya dengan semua yang Ardan katakan kalau dirinya sangat kepayahan untuk mengingat jalan pulang ke rumahnya. Maka sejak saat itu Pitter memutuskan agar dirinya saja yang datang, lagi phla Pitter hanya seorang diri di rumahnya,

"Oke. Dari pulang sekolah kita belum makan siang, kalian mau makan apa ? Biar gue bisa pesen makanan sekarang," putus Nakula, ia tak ingin memperpanjang masalah jika akhirnya Ardan akan ngambek dan mendiaminya berlarut-larut.

Jika Nakula ditanya apakah dia suka dengan Ardan yang diam? Dia dengan lantang menjawabnya, kalau Nakula lebih suka Ardan yang ramai dari pada Ardan yang diam. Terakhir kali anak itu membuat ulah kurang lebih sekitar sebulam yang lalu.

Saat itu mereka sedang asik menyeruput jus mangga yang dibuatkan oleh Alsha, Ibu Ardan. Tepatnya ketika Nakula dan Pitter berkunjung ke sana. Tujuan mereka ke sana tak lain untuk belajar bersama, padahal Pitter tahu kalau Nakula itu beda kelas dan belum tentu memiliki tugas yang sama. Namun, belum sempat melakukan apapun, suara gaduh yang datang dari kamar Panji membuat Nakula dan Pitter saling beradu Pandang. Heran dan bingung, itulah yang mereka alami.

EVERY SECOND ✔( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang