Chapter 2 : Wisuda

122 38 21
                                    

Lapangan parkir tampak dipenuhi mobil-mobil keluarga yang berbahagia hari ini. Auditorium kampus bergema keras, semarak wisuda salah satu kampus terbesar di Indonesia betul-betul menciptakan aura tersendiri. Adik-adik tingkat yang melepas kakak-kakaknya dengan nyanyian mars kebanggaan mereka. Beberapa dari orang tua mulai menitihkan air matanya kala nama anak mereka disebut untuk maju ke depan mimbar.

Sampailah pada giliran nama Celine disebut oleh pembawa acara yang bertugas. "Ilianna Celine Eireen, Putri dari Bapak Tirta Adhitama lulus dengan IPK 3,67." Beberapa teman Celine yang tak mengenalnya mendalam seketika terdiam saat nama Tirta Adhitama disebutkan. Para orang tua di sana juga mulai berbisik, mereka tak menyangka kalau ada salah satu anak Tirta Adhitama yang seumuran dengan anak mereka.

Celine dan Nadine memang tak pernah menyandang nama keluarga Adhitama di belakang nama mereka. Itulah yang Tirta lakukan agar anak-anaknya bisa berkembang tanpa menyandang nama keluarga, ia lebih menghargai kerja keras langsung dari anak-anaknya sendiri. Menurutnya dengan begitu, anak-anaknya akan tertempa sebagaimana keadaan yang ada di masyarakat. Mereka sama dengan anak-anak lainnya, harus sadar akan usaha, tidak ada jalan pintas sama sekali.

Ada rasa bangga yang menyeruak dari dada Tirta kala Celine berada di atas mimbar. Anak sulungnya kini sudah sarjana, ajaran yang selama ini ia tanamkan juga seringkali dilihatnya benar-benar dijalankan oleh Celine. Satu lagi tugasnya yang belum tuntas untuk Celine, yaitu mengantarkan ke atas pelaminan.

Di lain sisi, Diana terlihat menitihkan air matanya. "Gak terasa, ya, Pa. Perasaan baru kemarin mama gandeng tangan Celine yang kecil buat beli susu strawberry di mini market, sekarang anak kita udah jadi sarjana."

Tirta kemudian tersenyum merangkul Diana. Mungkin kalau bukan di tempat umum air matanya pun ikut keluar karena rasa bangganya. 22 tahun sudah lamanya umur pernikahan mereka, diterpa gelombang dan banyaknya badai. Kini mereka sudah sampai dititik dimana salah satu anaknya sudah siap menatap dunia sendiri.

Setelah prosesi, langkah Celine mulai menuruni mimbar utama. Banyak sorot mata yang sekarang tertuju padanya. Nama Tirta Adhitama memanglah menjadi daya tarik orang-orang karena bisnisnya yang berkembang dengan sangat pesat. Banyak sekali orang yang ingin bekerja sama dengannya, akan tetapi Tirta benar-benar memilih rekanannya dengan pertimbangan yang sangat ketat.

"Jadi kamu anaknya Tirta Adhitama, Lin? Selama ini aku baru tau ternyata," ucap salah seorang teman di samping Celine bernama Irene yang merupakan teman seangkatannya, akan tetapi mereka tidak terlalu dekat, hanya sebatas perkuliahan saja.

Balasan Celine hanya dinyatakan dalam senyuman dan anggukkan. Lantas kenapa memang kalau aku anaknya Tirta Adhitama? Hal tersebutlah yang seringkali Celine tanyakan dalam benaknya. Orang-orang selalu saja mengkotak-kotak sesuatu dengan sesuatu yang lain. Menjadikan diri mereka tidak bebas dalam berpikir.

Prosesi demi prosesi telah dilaksanakan. Celine keluar dari auditorium utama kampus dengan mengenakan jubah toga berkerah biru muda yang menjadi perlambangan fakultasnya. Wajah yang kelihatan cantik sekali dengan balutan make up berkesan natural. Rambutnya terurai sebahu, tertutup topi toga yang sudah ada di atas kepalanya.

Ia berjalan menuju pelataran, mencari papa dan mamanya. Tak lupa juga adiknya Nadine yang juga ikut datang, tadi Nadine hanya menunggu di mobil karena batasan undangan masuk hanya untuk dua orang.

"Kakaaakkk!!!" Suara Nadine terdengar berseru memanggil Celine yang masih mencari keberdaaan mereka. Tak hanya memanggil, ternyata Nadine juga berlari kecil ke arah Celine, lantas ia seketika memeluknya dengan cukup erat. Walaupun mereka seringkali bertengkar kecil, akan tetapi Nadine selalu menjadikan Celine panutannya.

Ternyata ada satu lagi orang yang sudah berdiri menunggu kedatangan Celine. Seorang laki-laki membawa sebucket bunga dengan mengenakan kemeja yang sangat rapih. Bibirnya melengkungkan senyuman saat Celine menyadari kehadirannya. "Kejutan!!!" ucapnya saat Celine melepas pelukan Nadine.

Dialah Nicho yang merupakan pacar Celine. Kakak tingkatnya satu angkatan di atas. Awalnya Nicho sempat berdalih bahwa ia tidak bisa hadir di wisuda Celine karena harus melakukan perjalanan ke luar kota untuk suatu kepentingan, akan tetapi itu hanyalah kebohongannya belaka dengan tujuan ingin memberikan kejutan.

Nicholas Bramantya, putra sulung dari keluarga besar Bramantya yang bisnisnya terkenal pada sektor FMCG (Fast Moving Consumer Good). Keluarga ini membersarkan bisnis makanan olahan cepat saji yang brandnya sudah cukup meluas. Nicho digadang-gadang adalah orang yang dibesarkan oleh kakeknya untuk disiapkan menjadi penerus bisnis tersebut.

Tak seperti Celine yang tidak pernah membesar-besarkan nama keluarganya. Nicho adalah orang yang selalu diberitakan tak jauh dari keluarga Bramantya. Setiap raihan prestasinya selalu dihubungkan dengan nama keluarga besarnya. Seakan-akan publik harus tahu bahwa Keluarga Bramantya mempunyai aset penerus yang cemerlang.

Mengetahui perbedaan prinsip antara keluarganya dengan keluarga Nicho, Celine tak pernah mempermasalahkan dan ambil pusing. Selama Nicho mau menghargai apa prinsip yang dipegangnya dan tak memiliki maksud terselebung dari kedekatan, hubungan mereka bukanlah masalah. Dan hal itu terbukti, dengan hubungan mereka yang kini hampir mencapai umur dua tahun lamanya.

Setelah berbincang sedikit mendapati ucapan selamat, Celine masih terlihat memperhatikan sekitar dan terus saja memegang ponselnya. Ada beberapa orang yang sepertinya masih ditunggu kedatangannya oleh Celine. Dan tak butuh waktu lama, senyum di wajah Celine melengkung kala mendapati tiga sahabatnya melambaikan tangan ke arahnya.

Aisyah, Bulan dan Delin. Tiga sahabat Celine sejak SMA perlahan berjalan ke arahnya. Di sana juga tampak seorang laki-laki yang diketahui Celine bernama Bintang, orang yang dekat dengan Bulan sahabatnya. Kata mereka Bintang sedang ada projek film tak jauh dari daerah kampus Celine, sehingga kedatangan mereka bertiga pada acara wisuda Celine dengan senang hati dibantu oleh Bintang untuk urusan transportasi dari stasiun.

Awalnya Celine sudah menawarkan tiket pesawat dan mobil jemputan untuk mereka bertiga. Akan tetapi karena sudah terbiasa sejak SMA, ketiga sahabatnya itu enggan menerima. Mereka lebih memilih untuk naik kereta dengan dalih alasan bisa lebih menikmati perjalanannya. Padahal alasan utamanya ialah mereka tak ingin untuk menyusahkan sahabatnya. Celine menyadarinya dan menghargai keputusan sahabat-sahabatnya. Karena bagi Celine mungkin itu adalah bentuk usaha untuk memperlihatkan bahwa mereka akan datang tanpa embel-embel apapun yang menguntungkan mereka.

"Gak telat kan, Lin? Maaf baru sampe. Nihh, tadi di stasiun lama-lama banget gara-gara nungguin Aisyah bolak-balik ke kamar mandi. Kemarin dia makan seblak, cabenya gak kira-kira. Udah dibilangin sama Bulan padahal," ujar Delin dengan sedikit menyudutkan Aisyah.

"Biasanya gak gini, Lin. Emang lagi sial aja aku, gara-gara Delin juga soalnya ngajak makan seblak. Jadi aku kan tertantang." Aisyah tak ingin kalah.

Bulan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Hee, udah-udah. Kebiasaan kalian, yang penting kan udah sampe. Masih aja dibahas dah."

Begitulah mereka, kadang malah Celine ikut dalam pertengkaran itu. Entah masalah apapun, Aisyah selalu saja mendapatkan serangan dari Celine dan Delin. Tapi inilah mereka, pertengkaran kecil adalah bumbu-bumbu dari keakraban yang telah dibangsun sekian lama.

Kemudian seperti acara wisuda pada umumnya. Mereka mulai mengabadikan momen-momen tersebut dengan mengambil foto. Agar nantinya cerita-cerita tentang foto itu dapat diceritakan kembali di lain waktu.

Eksekutif MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang