[7. Sorry From Thea]

32 6 2
                                    

"Terkadang, memang harus tersesat di hati yang salah dulu agar dapat mengerti cara kerja perasaan,"

[Thea~]

.


Thea masih tak mengerti, 'Mengapa Tuhan menganugerahi manusia dengan perasaann, namun tidak dengan tombol pengendalinya?' Dan parahnya, cewek 17 tahun ini baru sadar akan hal itu saat sudah memilih jalan yang salah. Kehidupan remaja memang sangat rumit di tengah letupan hormon yang selalu minta dimanjakan.

Ia pikir ledakan hormon oksitosin saat pertama kali melihat kedua orang yang telah menjadi sahabatnya itu hanya sebuah respons sementara. Detak jantungnya meningkat saat kali pertama Deva mengulurkan tangan untuk berkenalan, diikuti Kai. Banyak memori yang mereka lalui, tetapi entah mengapa tanpa Thea sadari ruang penyimpanan di otaknya selalu berlebih bila tentang cowok itu.

Deva baik, begitu pula dengan Kai, hanya saja mereka punya cara yang berbeda untuk mengekspresikan isi hatinya. Menjadi satu-satunya perempuan dalam lingkaran pertemanan antara dua laki-laki memanglah tak mudah, harus pintar-pintar ber-positif thinking agar tak salah mengartikan kebaikan biasa menjadi suatu hal yang istimewa.

Namun, Thea justru berlaku sebaliknya, menganggap kebaikan dengan maksud tertentu sebagai kebaikan biasa karena terlalu mengagungkan kata positif thinking.

Saat Deva mengakui perasaan padanya beberapa bulan lalu, jujur seorang Thea tak pernah menyangka akan ada hal semacam ini dalam pertemanan yang sudah di bangun 2 tahun. Cowok itu memang baik, terlalu baik, hingga tak ada alasan bagi Thea untuk mengatakan 'Maaf, tapi kita temenan aja'. Mereka resmi berkencan dengan mempertahankan persahabatannya, Kai masih ada di tengah keduanya.

Thea pikir semua akan baik-baik saja, ia hanya perlu menjalani peran sebagai seorang pacar yang baik untuk Deva dan bersikap sebagai teman yang peduli pada Kai. Namun, sejak hantaman keras bertubi-tubi menimpa cowok itu, Thea sadar.

Yang awalnya ia pikir akan benar-benar menganggap Kai sebagai seorang sahabat seiring berjalannya waktu, pada akhirnya kembali ke titik semula dimana ia adalah Thea yang jatuh cinta pada cowok itu sejak pertemuan pertama.

Yang awalnya tak ingin menghancurkan persahabatan karena menolak Deva, pada akhirnya ia harus selalu memaksakan diri untuk yakin bahwa rasa sayangnya terhadap Kai hanya sebatas teman. Thea selalu mengingatkan dirinya sendiri akan fakta itu.

Sebenarnya cewek ini sadar bahwa ia sering melampaui batas. Terlalu sering hingga ia selalu menutupinya dengan pikiran 'Gapapa, gue cuma berlaku sebagai temen yang baik, kok,'.

Dan di titik terlemah cowok itu, Thea sadar sejak awal keputusannya salah. Setidaknya jika tak ingin mengungkapkan rasa pada Kai, ia juga tak perlu menerima Deva yang hanya datang di waktu yang tepat tanpa ada rasa sedikit pun pada cowok itu. Apalagi hingga bersikap seolah ia menggantungkan harap, padahal yang dicintainya adalah cowok lain.

Kini, di titik terendah Kai, ia sangat ingin selalu berada di sisi cowok itu, tetapi statusnya tak memungkinkan.Ia pikir dapat melupakan rasa sukanya dengan berusaha jatuh cinta pada cowok lain, tapi sepenuhnya salah. Sebab hatinya tak dilengkapi dengan tombol pengendali.

"The... Thea," Cewek bernama Thea itu terhentak, sadar jika cowok yang duduk di bangku sebrang sampingnya memanggil. Dia Deva, cowok yang masih menjadi pacarnya sampai detik ini.

Stay Alive!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang