[12. The Voices]

25 2 1
                                    

 The Voices~

"Pernah merasa ditinggalkan oleh dunia? Sendirian dan terjebak pada satu titik, sedangkan yang lain tampak baik-baik saja dan mengalir bersama waktu."

.

Kai Anthariksa, cowok ini yakin bahwa ia tak sedang salah mengingat. Diagnosis psikiater padanya beberapa minggu lalu tak mengatakan bahwa ia mengidap skinzofrenia, tetapi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD.) Ya, Kai mengidap gangguan stress pascatrauma lepas kejadian yang menghancurkan mentalnya belum lama ini.

Serangan panik pertamanya terjadi beberapa hari lalu, saat sesuatu yang mengingatkan cowok ini pada pristiwa traumatiknya muncul. Membuat otaknya merespons secara berlebihan sehingga ia seolah-olah ditempatkan kembali pada kejadian yang sama. Tak hanya hadir dalam bentuk serangan panik, ketakutan itu juga bisa tervisualisasikan dalam bentuk mimpi buruk. Kai sempat terapi beberapa hari sebelum diperbolehkan untuk kembali pada aktivitas normalnya dengan tetap menjalankan terapi rutin bulanan. Tentu saja, dalam urusan obat-obatan, cowok ini juga tak bisa lepas begitu saja.

Suara-suara di dalam kepala penderita PTSD bisa saja muncul, tetapi setelah dipicu oleh ingatan yang tak jauh-jauh dari peristiwa yang menyebabkan trauma. Berbeda dengan penderita skinzofrenia yang kerap mendengar suara-suara acak yang memenuhi kepala penderitanya sebagai respons tambahan dari delusinya yang tanpa sebab. Lalu, apa jawaban untuk segala hal buruk yang memenuhi seisi kepala Kai?

Sebab sejak semalam suara itu seolah mengikuti, tepatnya setelah ia mendengar berita dari televisi tentang kasus bunuh diri artis negeri ginseng. Membuat Kai harus meminum obat tidur dua kali dosis normal, sebab matanya tak kunjung terpejam hingga pukul 4, tentu saja itu saran psikiater. Atau bila tidak, ia akan masuk penjara di usia dini karena penyalahgunaan obat, menambah beban saja.

Hingga pagi ini, fokus Kai berkali-kali lebih berantakan dari biasanya. Suara itu memang tak terdengar nyata, hanya memutar di dalam kepala, tapi tetap saja ada.

"Apelnya udah selesai dikupas, Nak?" Gina yang sibuk dengan telur mata sapinya menyempatkan diri untuk menanyakan keadaan apel yang tengah putra sulungnya kupas.

Sebenarnya Gina tak ingin merepotkan Kai dengan masalah sepele di dapur pagi-pagi begini, hanya saja ia tak ingin anak itu terus menutup diri lepas kejadian itu. Gina tak ingin Kai menghadapinya sendiri, jadi ia berusaha membuatnya merasa nyaman, berharap suatu saat hati putranya akan terbuka. Meski ia tak pernah tahu apakah akan ada waktu untuk itu atau tidak setelah melihat watak Kai yang sudah ada sejak pertama kali berjumpa.

"Sedikit lagi," Jawab Kai. Cowok jangkung ini baru sadar jika sedari tadi tangannya tetap bergerak, meski matanya tak mengawasi.

"Astaga, tangan kamu kenapa, Nak?" Ibu sambung Kai yang hendak membawakan piring kecil untuk apelnya pun terkejut detik itu juga, sebab pisau dan apelnya dipenuhi cairan merah kental dengan bau anyir.

Kai yang terkejut dengan kehebohan ibu sambungnya itu pun mencoba mencari tau apa yang salah dengannnya. Cowok ini menurunkan pandang ke arah apel, dan sejak kapan telunjuk kirinya teriris pisau?

"Sini sini, diberisihin dulu darahnya." Tanpa menunggu apa pun lagi, Gina segera menggenggam tangan putranya dan dihadapkan ke arah atas agar darah yang mengucur tak semakin banyak. Detik berikutnya, ia membawa Kai ke wastafel untuk membersihkan darahnya.

"Lukanya dalem begini, emang gak terasa sakit? Bisa-bisanya kamu cuma diem aja," Ucap Gina, benar-benar tak habis pikir, sebab hingga sekarang pun Kai masih tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Meski wanita ini mencuci luka Kai dengan hati-hati, tetap saja seharusnya luka cukup dalam yang terbuka begini akan terasa sangat perih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Stay Alive!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang