Hari demi hari, telah terlewati dengan beragam kisah dan kenangan. Hingga tidak terasa, waktu membawa roda kehidupan sampai di hari ini. Hari di mana semua kisah putih biru, akan segera berakhir.
Ya, kini Kafka sudah dihadapkan pada berbagai ujian. Hingga terakhir Ujian Nasional.
Pagi ini, Kafka menenteng papan dada beserta alat tulisnya. Dia berjalan menuju ruang ujiannya, seraya bersenandung kecil. Bibirnya tak pernah berhenti mengulum senyum. Hari ini, pelajaran matematika dan Kafka sudah mempersiapkan semuanya sejak jauh-jauh hari.
"Senang banget kayaknya, Kaf!" seru Ragil.
"Matematika, Bro!" Kafka berujar heboh. Ragil hanya menggelengkan kepalanya, merasa tak habis pikir pada Kafka yang begitu bucin pada matematika.
"Gue gak habis pikir sama lo, Kaf. Lo bucin ke matematika itu karena apa? Perasaan setiap pelajaran lo molor. Tapi, kalau udah dihadapkan sama matematika atau IPA, itu mata langsung melek."
Kafka hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dia juga tidak tahu mengapa bisa se-suka itu sama matematika dan IPA?
"Gak ngeh gue, Gil."
Ragil hanya kendengkus, ia pun mengubah ekspresi wajahnya menjadi memelas. Ah, lebih tepatnya, pura-pura memelas.
"Ini hari terakhir UN, besok udah gak sekolah lagi. Sedih gue, Kaf."
"Lebay amat 'sih lo!" Bukan Kafka yang berujar, melainkan Alva yang baru datang.
"Gue gak lebay, Al. Ini 'tuh beneran," ucap Ragil, mendramatisir keadaan.
"Terus, apa hubungannya sedih sama gak sekolah lagi?" tanya Kafka.
"Nah, gue suka pertanyaan ini. Lo emang the best, Kaf. Jadi ... Kalau gak sekolah, itu artinya gue di rumah. Nah, ini masalahnya, kalau gue di rumah, gue gak bakal dapat uang jajan."
"Yeeeuu! Gue kira apaan. Dasar onta Arab!" Alva menoyor kepala Ragil. Sementara Kafka, hanya terkekeh melihatnya.
Eh, tapi ada benarnya juga omongan Ragil. Kalau kita gak sekolah, berarti gak dapat uang jajan. Benar, gak, sih? Kalian juga kalau gak sekolah, uang jajannya gak ada, malah dikasih ke adik atau saudara yang lainnya, 'kan? Anak-anak yang suka uniko (Usaha Nipu Kolot), pasti menangis karena ini.
"Anak-anak, ayok masuk! Ujian akan segera dimulai," teriak Bu Hayu dari ambang pintu. Semua murid mematuhi, mereka langsung memasuki ruang ujian dan duduk dengan rapi.
Sebelum ujian dimulai, mereka dipandu untuk berdoa terlebih dahulu. Setelah itu, barulah rangkaian ujian dilakukan. Kafka yang telah mendapat lembar jawaban, langsung mengisi biodata dengan melingkari huruf-huruf yang tertera. Hingga lembar soal datang dan langsung diperiksanya, untuk memastikan bahwa soal itu utuh. Empat puluh soal.
Bismillahirrohmanirrohiim ...
Kafka langsung mengisi soal-soal itu, dia mengulum senyum dengan jari tangan yang bergerak lincah, menari di atas lembar coretan. Soal yang ia kerjakan, terasa begitu mudah karena dia pernah mengerjakan soal serupa sebelumnya. Ya, Kafka selalu latihan mengerjakan soal dari soal-soal UN tahun sebelumnya. Jadi, tak ada kesulitan yang ia rasakan.
Sampai, waktu bahkan baru berjalan sekitar empat puluh menit, tapi Kafka telah menyelesaikan semuanya. Karena waktu masih tersisa banyak, ia pun kembali memeriksa jawabannya.
Bell tanda berakhirnya ujian pun berbunyi, kegiatan itu diakhiri dengan hamdalah. Lalu semua murid keluar dari ruang Ujian.
"Gila lo, Kaf! Tenang-tenang bae pas ngerjain, salut gue!" puji Ragil dengan mengacungkan kedua jempolnya. Kafka hanya tersenyum, seraya berjalan bersama kedua temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rubik √
Teen FictionKafka Riza Al-Hamdan, seorang pemuda yang memiliki banyak mimpi. Namun, jalannya tak pernah mudah. Lika-liku hidupnya pun, begitu panjang. Kafka, anak ketiga dari lima bersaudara itu, ingin menjadi penopang untuk kebangkitan keluarganya. Mampukah Ka...