Angin yang berembus hari ini, terasa lebih panas dari biasanya. Teriknya mentari pun, seakan membakar kulit. Di salah satu ruang ujian, tepatnya ruang bernomor 12. Terlihat Kafka yang bergelut dengan soal-soal. Ini adalah ujian sekolah terakhirnya dengan mata pelajaran Biologi.
"Ternyata benar. Belajar memahami konsep itu sangat membantu," ucap Kafka.
Dia mematri senyum karena berhasil mengerjakan soal-soal itu, walau ada satu soal yang tidak ia mengerti dan dijawab secara asal.
Setelah ujian itu beres, Kafka ke luar dengan senyum terbaiknya. Dia menghampiri teman-temannya yang lain.
"Wiihh! Master Biologi sudah datang! Gimana, Kaf?" tanya Dimas.
"Gimana apanya?" Kafka balik bertanya.
"Itu, Biologi lancar, gak?"
"Alhamdulillah, lumayan lancar."
Semua yang ada di sana bersorak saat mendengar jawaban Kafka. Kemudian, atensi mereka beralih pada kumpulan anak-anak cewek yang tengah membahas soal itu.
"Nas, soal tadi sulit, ya?" tanya Sopi.
"Heem, aku ngerjain sebagian. Tapi, yang benar-benar aku kerjain asal dan nembak itu sekitar 4 sampai 5 soal."
"Sama, Nas. Aku juga jawabnya gitu. Ya Allah, semoga saja ada keajaiban dan apa yang kita jawab tadi itu tepat."
"Aamiin."
Obrolan itu berlanjut, mereka membahas banyak hal soal Ujian Biologi tadi. Kafka yang mendengar langsung tertegun, dia meremat jemarinya. Ya, jika orang lain merasa sulit, itu biasa. Tapi, saat ia mendengar Sinas, Sofi, Azzahra, dan Sanah berkata demikian, Kafka langsung membatin.
"Gila, sih ini. Kok mereka nganggap sulit. Tapi, gue nganggap gampang. Apa jawaban gue salah semua, ya? Aahh, parah, Kafka! Kenapa lo gak cek lagi tadi? Bisa-bisa nilai lo ancur ini."
Kafka mengacak rambutnya, ia merutuki kebodohannya yang tidak mengecek kembali jawaban tadi. Apa Kafka salah baca soal? Atau dia salah menandai jawaban? Ah, rasanya dilema sekali. Kalian pasti pernah merasakan ini, 'kan? Bahkan mungkin, ada mengalami hal serupa?
Tak mau kegelisahannya dilihat yang lain, Kafka buru-buru pamit untuk pulang. Sepertinya, rumah memang cocok untuk ia menenangkan pikiran saat ini. Berarti, sampai nilai Ujian Sekolah-nya keluar, Kafka akan sangat galau. Ceroboh sekali memang!
Kafka membawa langkahnya, menyusuri trotoar. Dia menendang-nendang krikil yang ia dapati.
"Bener-bener lo, Kaf! Kok bisa seceroboh itu? Kenapa gak lo cek tadi? Greget banget gue sama lo, Kaf!" gerutu Kafka.
Dia terus saja berbicara sendiri, sampai tidak sadar bahwa di belakangnya ada orang.
"Marah-marah sendiri, terus merutuki apa yang belum pasti itu perbuatan bodoh!" sindir seseorang.
Kafka sangat mengenal suara itu. Jadi, tanpa membalikkan badan, ia langsung menjawab,"Biarin, yang bodoh juga gue. Bukan lo."
"Lo gak berubah, ya. Dari SD, SMP, sampai sekarang SMA, tetap aja belajar satu pelajaran. Lo gak kapok sama nilai UN Matematika lo? Terus, lo gak denger apa, guru-guru banyak bicarain lo?"
Kafka terkekeh, ia merasa aneh dengan orang di belakangnya itu.
" Vian, Vian. Gue ingetin kalau lo lupa! Selama kita hidup bareng di sekolah, lo tahu sendiri kalau apa yang gue lakuin itu selalu salah. Gue kapok sama matematika, itu makanya gue nyantol ke Biologi. Jadi, gue gak peduli guru mau ngomong apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rubik √
Teen FictionKafka Riza Al-Hamdan, seorang pemuda yang memiliki banyak mimpi. Namun, jalannya tak pernah mudah. Lika-liku hidupnya pun, begitu panjang. Kafka, anak ketiga dari lima bersaudara itu, ingin menjadi penopang untuk kebangkitan keluarganya. Mampukah Ka...