Seperti daun-daun yang gugur, dahan rela atas kehilangan. Mengorbankan dan dikorbankan, memang hal yang harus kita pikirkan. Kala kemarau datang dengan beringasnya, pohon mulai dilanda kesedihan. Dia menangis tanpa air mata, menjerit tanpa suara, memaksa ranting untuk bersalaman dan mengucapkan selamat tinggal. Sampai akhirnya, satu persatu mahkota yang tak lagi hijau miliknya, jatuh terbawa angin.
Bukan!
Bukan dahan tak menyayangi mahkota hijau yang selama ini memasak makanan untuknya. Bukan pula ia tak tahu terima kasih. Tapi, untuk mempertahankan hidupnya, dahan mengorbankan daun. Dia melepas prajurit-prajurit kecil yang selama ini berjuang bersamanya atas dasar cinta dan kasih sayang, beriringan dengan keyakinan bahwa daun itu akan kembali tumbuh dengan senyum yang baru.
Lantas, mengapa daun tidak marah pada ranting? Mengapa daun tidak menghukum batang dan dahan? Jawabannya karena daun rela dikorbankan. Dia tidak ingin membebani pohon yang tengah kelabakan dalam mendapakan air dan hara. Jadi, dia memutuskan untuk beranjak dan jatuh. Tepat di kaki sang pohon, bercampur dengan tanah hingga akhirnya membusuk. Daun-daun itu, kembali hidup dengan warna hijau yang begitu rupawan. Ya, dia menjadi pupuk tanpa disengaja untuk pohon itu sendiri.
Sama seperti Kafka dan mimpinya, dia melepaskan impiannya menjadi seorang Paskibraka Nasional, mengikhlaskan harapannya untuk mengikuti olimpiade. Semua ikhlas yang dia ikat kuat dalam hatinya, menjadi pupuk untuk setiap langkahnya. Kafka tumbuh dengan pupuk kegagalan hingga ia pun subur dengan perjuangan.
"Dokter Kafka, pasien Bed 05 di Up sekarang?"
Kafka yang tengah fokus dengan jurnal di tangannya, lantas menoleh pada perawat yang baru saja bertanya.
"Up saja, Sus."
"Baiklah. Kalau begitu, saya pamit, Dok"
Setelah perawat itu pergi, Kafka kembali membaca jurnal. Dia membaca sederet huruf yang tertera di sana. Sampai, sebuah foto terjatuh. Kafka segera mengambil foto itu, ia pun mengembangkan senyumnya. Ya, itu foto dirinya dan Vian, sembilan tahun lalu.
"Lo apa kabar, Yan?" tanyanya. Namun, tak ada jawaban karena Kafka hanya bertanya pada selembar foto.
Hingga pintu ruangannya terbuka, tanpa diketuk terlebih dahulu. Kafka jelas terkejut, ia ingin mengumpat rasanya. Namun, urung kala netranya menangkap sosok pria dengan jas putih khasnya.
"Dokter Kafka, Mabroh! Apa kabar, Kaf? Sorry, gue ngagetin, ya?"
Kafka terkekeh, ia pun berdiri dan membawa langkahnya mendekat pada Vian. Ya, seorang dokter yang muncul tiba-tiba itu adalah Vian. Setelah jarak terpangkas, mereka melakukan tos singkat dan berjabat tangan.
"Apa kabar, Yan? Sumpah, ya, gue gak nyangka lo bakal datang tiba-tiba kayak gini."
Vian membetulkan letak tasnya, ia menatap Kafka dengan senyum khas yang dimilikinya.
"Gak ditawari duduk dulu apa, Kaf?"
Kafka menepuk keningnya, saking senangnya, ia sampai lupa untuk mengajak Vian duduk.
"Lupa gue, Yan. Yasudah, ayok duduk, Dokter Vian."
Vian terkekeh, ternyata sikap Kafka masih sama saja seperti dulu. Padahal, usianya sudah 27 tahun. Tapi, Kafka masih seperti pemuda berusia 18 tahun.
"Lo apa kabar, Kaf?" tanya Vian setelah mendudukkan dirinya.
"Alhamdulillah, baik gue, Yan. Lo sendiri?"
"Ya, seperti yang lo lihat. Gue sehat, segar bugar gini." Kafka terkekeh singkat, dia merasa Vian lebih cair sekarang.
"Udah gak kaku, ya, lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rubik √
Teen FictionKafka Riza Al-Hamdan, seorang pemuda yang memiliki banyak mimpi. Namun, jalannya tak pernah mudah. Lika-liku hidupnya pun, begitu panjang. Kafka, anak ketiga dari lima bersaudara itu, ingin menjadi penopang untuk kebangkitan keluarganya. Mampukah Ka...