Pagi ini, di SMAN Jati Mulya, terlihat siswa dan siswi tengah berkerumun. Mereka saling berdesakkan untuk melihat daftar kelas yang akan mereka tempati, di mading.
"Jangan dorong-dorong, 'dong!"
"Sabar, 'dong!"
Suara-suara itu saling bersahutan, para siswi terlihat masih berdesakkan. Seakan tidak sabar untuk mengetahui kelasnya.
Kafka yang baru datang, hanya menghela napas. Dia tidak mungkin ikut pada kerumunan itu. Jadi, dia hanya duduk di podium lapangan.
"Kafka, lo sekelas sama gue." Kafka tersentak. Ia pun melihat orang yang baru saja bersuara. Ya, itu Dimas, teman saat MPLS.
"Di kelas mana, Dim?" tanya Kafka.
"X Mipa-6."
"Oh. Langsung ke kelas aja kalau gitu."
"Iya, kuylah!"
Merekapun berjalan, melewati jembatan pembatas antara area kelas sepuluh dan area kelas sebelas serta dua belas.
Kafka nenghentikan langkahnya di atas jembatan, membiarkan Dimas berjalan lebih dulu. Dia menghela napas seraya memejamkan mata. Semua ini terasa mimpi, Kafka bahkan tidak pernah membayangkan bisa sekolah di sini. Rencana Allah memang indah.
Setelah puas menikmati pemandangan dari atas, Kafka langsung turun dan melenggang menuju kelasnya. Hingga ia sampai di depan kelas berwarna hijau yang bertuliskan X-Mipa 6. Tanpa ba-bi-bu lagi, Kafka langsung memasuki kelas itu.
Kafka mengernyitkan dahinya, saat netranya tak sengaja melihat Vian yang duduk dibangku keempat, barisan pertama dari kanan.
"Vian? Sekelas lagi? Ini kebetulan atau apa?" gumam Kafka.
"Hoy, Kafka! Duduk di sini!" teriak Dimas.
Kafka langsung mengangguk saja, walau jauh dalam hatinya, ia merasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, jika Kafka duduk dengan Dimas, itu artinya ia duduk di belakang Vian. Ah, ini seperti mimpi buruk di siang hari. Kafka langsung mengembuskan napas, ia pun menghampiri Dimas.
Karena ini hari pertama, tidak ada guru yang masuk untuk mengajar. Hanya ada dua guru yang masuk yaitu, Pak Awan selaku Wali kelas dan Bu Imah selaku Wakasek Kesiswaan.
Kafka memperhatikan teman-temannya, terutama Dimas. Dia bingung dengan sikap anak itu, di hari pertama Sekolah ini, dia sibuk menghampiri setiap bangku hanya untuk berkenalan. Entah modus atau memang orangnya sehangat itu. Hingga atensi Kafka tertuju pada seorang siswi yang tengah mengobrol dengan Dimas. Dia mengenal siswi itu. Jadi, Kafka langsung menghampiri.
"Nas ...?" tanya Kafka. Ya, dia hanya menyebutkan Nas saja karena sulit menyebutkan nama lengkap siswi itu. Dimas yang kaget karena kedatangan Kafka, langsung memukul kepala anak itu.
"Datang-datang langsung ngomong. Gak ada akhlak emang lo, Kaf!" Kafka meringis saja, ia mengusap kepala belakangnya.
"Sorry, Dim. Gue 'kan cuma mau nyapa si Nas."
Perempuan yang melihat kedua teman barunya itu berdebat singkat, hanya terkekeh saja.
"Kafka, 'kan? Aku lupa ngucapin terima kasih waktu itu. Makasih udah bantuin aku mendapatkan tanda tangan panitia," ucap siswi itu, tanpa menatap ke arah Kafka.
"Sama-sama. Btw, nama lo susah, apa 'sih? Nas apa?"
"Yeeuu. Kafka, Kafka. Lo bisa ngomong halus gak, 'sih? Kalau sama cewek jangan lo-gue-lah. Aku-kamu kayaknya lebih sopan. Ya, gak, Nas?" Siswi yang disebut Nas itu, hanya mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rubik √
Teen FictionKafka Riza Al-Hamdan, seorang pemuda yang memiliki banyak mimpi. Namun, jalannya tak pernah mudah. Lika-liku hidupnya pun, begitu panjang. Kafka, anak ketiga dari lima bersaudara itu, ingin menjadi penopang untuk kebangkitan keluarganya. Mampukah Ka...