Delapan

744 99 38
                                    

Orang bilang, Bandung selalu menjadi tempat ternyaman untuk tinggal. Selain udaranya yang sejuk, orangnya juga ramah-ramah. Ya, semua itu memang benar. Semua orang selalu bertukar sapa dan cerita. Hanya sebatas bertukar cerita, namun tidak bisa bertukar rasa. Contohnya, di tukang sayur pagi ini.

"Ceu Rani, Kafka sudah pulang, ya?" tanya Kokom. Salah satu ibu-ibu yang tengah belanja.

"Iya, Bu. Sudah kenaikan kelas. Jadi, Kafka pulang."

"Gak kerasa, ya, Ceu. Kafka udah kelas dua belas aja," timpal Imas.

"Tapi, ya, Ceu. Kafka belum ngasilin apa-apa, 'kan, ya? Kalah dong sama anak saya. Walau cuma lulus SMP, udah kerja. Nalang pisan ka kolot. Gajinya udah Rp.420.000 per minggu."

Rani hanya tersenyum, lalu mengangguk sebagai tanggapan atas ucapan Kokom.

"Iya, Ceu. Ikdam juga sudah Kerja. Padahal, ya, Ceu. Kenapa Kafka musti sekolah? Lagian, yang saya dengar 'tuh, Kafka gak berprestasi juga di sekolahnya. Saudara saya yang anak bidan itu satu sekolah sama Kafka. Dia bilang, Kafka gak lolos-lolos seleksi ... lomba apa gitu? Terus gak dapat ranking juga. Jadi, ya, Ceuceu 'kok kayak rugi gitu nyekolahin Kafka."

"Henteu rugi, Ceu Imas. Kafka berprestasi dengan caranya sendiri. Lagi pula, ranking tidak akan menjamin kesuksesan seseorang, 'kan?"

"Ceu Rani mah, gak tahu, ya? Yang sukses mah orang yang punya duit. Nah, modelan kita-kita yang gak punya apa-apa mah, jangan mimpi jadi orang sukses. Memangnya, setelah lulus SMA, Kafka mau kerja apa? Ujung-ujungnya juga kuli bangunan kayak Kang Hamdan, atau kuli nyangkul di sawah. Jadi, buat apa pendidikan tinggi-tinggi? Ngabisin duit aja, Ceu! Apalagi anaknya gak pinter, buat apa coba?"

Rani menghela napas, ia berusaha menjaga ketenangannya. Ya, dulu Rani memang sepemikiran dengan ibu-ibu itu. Tapi, sekarang semuanya sudah terbuka. Rani beranggapan dan meyakini bahwa pendidikan juga penting untuk anak-anaknya.

"Orang miskin mah, jangan kebanyakan mimpi, Ceu! Jiwa kuli kayak kita mah, jangan sok-sokan sekolah tinggi. Gak ngasilin apa-apa, mending anak-anak kita yang udah bisa bantu keuangan. Ngangkat ekonomi keluarga sedikit demi sedikit. Lah, itu si Kafka bisa apa? Di sekolah gak pinter, gak ngasilin duit, terus mau sok-sokan mimpi jadi orang sukses? Apa gak ketinggian mimpinya, Ceu? Harusnya, Ceuceu sebagai Ibu itu nasihati anaknya. Ajari dia lihat kenyataan, bukan sok mau berpendidikan!"

Cukup sudah, Rani mendidih sekarang. Dia melempar kangkung yang sudah dia pilih ke arah Imas yang sejak tadi bersuara.

"Heh! Apa haknya Ceu Imas ngatur-ngatur anak saya? Anak saya punya impian juga gak ngerugiin Ceu Imas. Anak saya sekolah, gak minta biaya sama Ceu Imas atau Ceu Kokom! Jadi, kenapa kalian sibuk membicarakan mimpi yang ketinggianlah, ngabisin duitlah? Apa urusannya sama kalian? Dengar baik-baik, ya, Ceu! Saya memang orang susah, orang miskin. Tapi, saya tidak terima jika anak saya dihina seperti tadi. Kafka memang belum pintar, tapi dia berbudi! Setidaknya, ucapan dia gak sampah seperti kalian! Saya gak jadi beli, permisi!"

Rani langsung membawa langkahnya, meninggalkan tukang sayur dengan air mata yang menggenang.

"Orang gila! Mimpi 'kok ketinggian? Mau jadi orang sukses katanya? Orang miskin mah miskin aja, jangan belagu!" oceh Imas.

"Iya, Ceu. Ceu Rani mah bisa-bisa gila karena mimpinya ketinggian. Padahal, suaminya juga cuma kuli. Mending suami kita yang kerja di Jakarta, gaji lebih gede. Tapi, gak sok-sokan 'tuh mau biayain anak sekolah tinggi," timpal Kokom.

"Sudahlah, Eceu-Eceu! Lagian, apa salahnya bermimpi? Kita doakan saja agar impian anaknya Ceu Rani terwujud, dari pada cuma ngomongin hal yang belum terjadi," lerai Ibnu.

Rubik √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang