Enam belas

890 96 26
                                    

Hawa dingin dari AC, tak sedikitpun mengusiknya. Lengan baju yang tipis nan lusuh yang ia kenakan, basah oleh air mata. Namun, tak ada niat sedikitpun ia mengganti atau membalut pakaiannya dengan jaket. Wanita berusia 49 tahun itu, tak berhenti menangis. Dia terus-menerus meluruhkan air matanya seraya menggenggam tangan dingin sang putra.

"Bangun, Nak! Ini Ibu, Kafka. Kamu harus kuat, kamu harus bangun! Ibu sayang kamu, Kafka."

Entah sudah berapa kali, kalimat itu keluar dari bibirnya. Sejak sampai di rumah sakit, ia tak beranjak sedikitpun dari sisi Kafka. Bahkan, sekadar membiarkan Hamdan mendekatpun tidak.

"Katanya, kamu mau pulang, Nak. Ibu sudah belanja banyak bahan masakan. Ibu mau buat sayur sop, kue keju, dan nugget pisang buat kamu. Tapi, kenapa kamu malah di tempat ini, Kafka?"

Sekali lagi, isak tangis Rani, terdengar memenuhi ruang rawat Kafka. Menyamarkan desir angin yang masuk lewat celah-celah ventilasi udara.

Rani tak peduli, walau tubuhnya sudah merasa lelah. Dia tetap duduk di samping brankar anaknya. Rani mengulurkan tangannya, dia mengusap kening Kafka dengan penuh kasih sayang. Sampai, ingatannya kembali memutar kejadian dua hari lalu.

Malam yang penuh dengan bintang, terlihat Rani tengah menidurkan putri bungsunya. Dia bersenandung kecil seraya mengayun-ayun sang buah hati, dalam gendongannya.

"Solatullah salamullah ... Ala toha rasulillah ... Solatullah salamullah ... Alaa yaasin habibillah ..."

"Bobo yang nyenyak anak Ibu," ucapnya seraya mencium kening Nisa.

Rani berjalan, mendekati ranjangnya. Dengan hati-hati, ia menidurkan Nisa di atas kasur. Hingga atensinya teralihkan karena suara ponsel yang meraung meminta perhatian. Tanpa berlama-lama, wanita itu langsung mengambil ponselnya dan menekan ikon hijau.

"Assalamu'alaikum, Bu," ucap seseorang dari seberang.

Rani mengembangkan senyumnya, ia teramat mengenal suara lembut itu. Ya, itu suara Kafka.

"Wa'alaikumsalam warohmatullah. Ganti lagi nomornya, Kafka? Bo, yo, hobi ganti nomor, ya, kamu."

Terdengar kekehan singkat dari seberang. Tak ayal, Rani turut mengembangkan senyumnya.

"Nuwun pangapunten, Bu. Nomor yang kemarin masa tenggang, aku gak beli pulsa lagi. Kelupaan, akhirnya mati deh kartunya."

Rani terkekeh, suara Kafka terdengar sangat beda. Ah, Rani merindukan anaknya itu. Padahal, jika Kafka di rumah, Rani selalu memarahinya. Setiap hari pasti terdengar ocehan dari wanita itu. Namun, seiring berjalannya waktu dan semakin terbentangnya jarak, Rani menyadari bahwa ia merindukan putranya.

"Kamu itu, ya. Jangan dibiasakan lupa ngisi pulsa, Kaf. Nanti kalau ada penting gimana? Nanti kamu keteteran nyari tukang pulsa."

Terdengar tawa dari Kafka, membuat Rani turut tertawa pelan.

"Kalau ada penting-mah, nanti pinjam punya Mas Ryan, Bu. Dia 'kan sultan, pulsa sama kuotanya banyak."

Rani terkekeh sampai matanya menyipit.

"Kamu makin pintar menjawab, ya, Nak. Gimana sekolahnya, Kafka? Lancar?"

"Alhamdulillah lancar, Bu. Cuma ada beberapa masalah saja," terang Kafka dengan nada lesu.

"Masalah itu pasti selalu ada, Kafka. Kamu harus bisa menyelesaikannya. Kamu harus bisa bijaksana dalam menghadapi permasalahan yang ada di hidup kamu. Kamu anak laki-laki, harus bisa tanggung jawab. Kafka, tidak akan ada asap bila tidak ada api. Jika kamu asapnya, kamu harus berusaha mecari air untuk memadamkan api itu. Tetapi, jika kamu apinya, maka kamu harus berbesar hati untuk padam dan mengakui kesalahan. Mengerti, Nak?"

Rubik √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang