"Aku gak sudi anak itu ada di tengah-tengah kita, aku gak ridha, Mas. Kalau kamu tetap begini, lebih baik kita cerai!"
Seakan ada guntur yang menyambar, tubuh Ryan menegang. Otaknya seakan beku dan kehilangan fungsi. Sungguh ini sangat mengerikan. Mengapa lisan wanita itu dengan ringan menyerukan kata cerai? Ryan tidak habis pikir.
"Jaga omongan kamu, Nina! Kamu pikir cerai itu jalan yang baik? Ingat, Nin! Sudah 25 tahun kita berumah tangga dan kamu mau mengakhiri semuanya?"
"Bukan aku, Mas. Kamu yang mengakhiri dan menghancurkan semuanya. Kamu yang buat aku kayak gini! Aku mau kita cerai saja, Mas. Aku gak kuat ngadepin kamu yang terus-terusan belain adik kamu itu. Aku gak tahan lihat kamu terus-terusan menghidupi keluarga kamu, seakan semuanya tanggung jawab kamu."
"Nina! Mereka memang tanggung jawab aku. Aku anak laki-laki tertua dan kehidupanku sudah mapan. Maka, aku wajib memberi pada mereka karena mereka memang tanggung jawab aku. Seharusnya, kamu paham posisi aku, Nin. Aku juga tidak pernah kurang memberimu uang bulanan, 'kan? Sebagai seorang istri, harusnya kamu ngerti, Nin. Kamu harus ngerti posisi dari tanggung jawab suamimu."
Bukan mereda, amarah Nina justru semakin terpatik. Wanita itu terlihat sangat berapi-rapi.
"Kamu yang gak ngerti aku, Mas. Aku akan pergi bersama anak-anak aku, aku akan didik mereka biar gak kayak kamu!"
Nina beranjak, sementara Ryan membeku di tempatnya. Apa maksud istrinya itu? Kenapa dia begitu marah? Padahal, Ryan juga membelikan sesuatu untuk Nina. Hanya saja, sebelum dia memberikan, wanita itu sudah marah seperti ini. Ryan tersadar dari lamunannya saat suara tangis Ozi terdengar, dia pun buru-buru menghampiri Nina.
"Berhenti, Nin! Kamu apa-apaan, sih? Ini cuma masalah sepele, kita bisa bicarain baik-baik dengan kepala dingin. Jangan kayak anak kecil deh."
Nina menatap tajam Ryan dia tidak terima disamakan dengan anak kecil.
"Anak kecil? Siapa yang kayak anak kecil di sini, Mas? Siapa? Kamu yang memulai semua ini, kamu lebih milih anak sialan itu!"
"NINA!"
Tangan Ryan terangkat, ia hampir saja menampar istrinya. Namun, suara Kafka lebih dulu menyela.
"Mas Ryan! Hentikan!"
Ryan menyadari kesalahannya, hampir saja dia melukai Nina. Hampir saja dia berbuat kekerasan dalam rumah tangga. Ryan mengepalkan tangannya, lalu menyimpannya di samping tubuh.
"Hentikan, Mas, Mbak! Jangan bertengkar lagi!"
Tak ada suara yang mereka keluarkan, baik Ryan maupun Nina, sama-sama bungkam.
"Aku minta maaf, Mbak. Aku minta maaf karena telah mengganggu kehidupan Mbak dan Mas Ryan."
"Baru sadar kamu? Setelah rumah tangga saya hancur, kamu baru menyadarinya? Ke mana saja kamu selama ini?"
Kafka menunduk, sungguh hatinya sangat perih sekali. Dia memang tidak pernah ada tempat di rumah ini, Kafka merasa menjadi biang atas semua masalah.
"Maaf, Mbak."
Lirih sekali, Kafka menggumamkan kata maaf. Namun, alih-alih mendapat balasan, Nina justru semakin gencar membawa langkahnya ke luar bersama Ozi yang menangis dalam gendongan.
"Seumur hidup, kamu akan menyesal, Kafka!"
"Nina! Jangan keterlaluan kamu, ya! Kafka itu adik aku, Nin. Dia adikku! Kamu tidak sepantasnya mengatakan itu."
"Apa, Mas! APA?! Dia memang pembawa bencana untuk keluarga kita. Dia cuma benalu di hidup aku."
"Astaghfirullah, Nina! Kamu harus sadar! Kamu kelewatan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rubik √
Teen FictionKafka Riza Al-Hamdan, seorang pemuda yang memiliki banyak mimpi. Namun, jalannya tak pernah mudah. Lika-liku hidupnya pun, begitu panjang. Kafka, anak ketiga dari lima bersaudara itu, ingin menjadi penopang untuk kebangkitan keluarganya. Mampukah Ka...