Apa yang terjadi, memang tak pernah bisa diulang kembali. Semua yang menimpa, hanya menyisakan penyesalan saja. Dulu, Nina adalah angkuh yang tidak bisa disentuh. Dia selalu berdiri dengan jumawa. Namun, sekarang wanita itu adalah tenang. Semua ucap kasar dan tatap tajamnya, berganti menjadi derai air mata.
"Aku gak tahu, Nin. Malam itu, kamu minta kita cerai. Tapi, sekalipun aku tidak akan memberikan talak untukmu. Dua puluh lima tahun, Nin. Rumah tangga kita bertahan selama itu, anak kita sudah dua. Apa kamu yakin ingin berpisah?"
Tak ada suara, Nina tetap dalam diam dan air mata. Wanita itu seolah kehilangan angkuhnya, lisan yang biasa mengudarakan kata kasar dan kebencian. Sekarang seutuhnya terkunci dalam bungkam.
"Nin, Bapak dan Ibu tidak tahu hal ini dan Kafka tidak akan pernah cerita apapun ke mereka. Jadi, aku mau kita selesaikan semuanya, Nin." Ryan mengembuskan napas, ia menuntun netranya menatap Nina.
"Aku bisa saja memberikan talak untukmu hari ini juga. Tapi, aku yakin, malam itu, kamu hanya terbawa emosi saja. Nina, kalau kita memutuskan untuk pisah, bagaimana Irya dan Ozi? Ok, Irya mungkin sudah dewasa dan bijaksana dalam menyikapi semua ini. Tapi, Ozi? Apa yang akan dilakukan oleh anak sekecil itu? Kita harus memikirkan mental Ozi, Nin."
Lagi, Ryan menghela napas. Mampu dia lihat bahwa Nina semakin meluruhkan air matanya.
"Sekeras apapun kamu minta aku ceraikan kamu, aku tidak akan pernah memberikannya, Nin. Sekarang, kamu cukup dengerin aku. Nina Nur Cahyani, dua puluh lima tahun lalu, aku mempersuntingmu dengan penuh cinta. Aku memintamu pada Ayahmu dan aku membawamu pada kesulitanku. Kamu wanita yang baik, sabar, dan hebat. Kamu bisa mengurus Irya, bahkan saat kita tak punya apa-apa. Kamu bisa sabar terhadapku dan mau bertahan, sekalipun kita tidak makan seharian ..."
Ryan menggenggam tangan Nina, ia menatap lamat istrinya.
"Kamu wanita yang sempurna, Nin. Kamu memberiku dua anak yang hebat. Kamu membuatku sempurna dengan menjadikanku ayah dari anak-anakmu. Aku minta maaf, Nin. Aku minta maaf jika aku tidak mampu bersikap adil padamu dan keluargaku. Aku minta maaf jika aku tak bisa memenuhi keinginanmu. Sekarang, aku mau kamu bicara, Nin. Kamu keluarkan semua unek-unek yang kamu simpan. Kita suami istri, sudah sepatutnya kita saling terbuka."
Tak ada jawaban, Nina malah semakin terisak. Ryan yang melihat itu, langsung memeluk istrinya. Dia sangat mencintai Nina, sungguh tidak ada kebohongan atas semua perasaannya.
"Aku minta maaf, Mas. Aku salah selama ini. Aku terbutakan dengan apa yang kita miliki. Mas, aku memang tidak suka kamu terus-terusan memberikan biaya pada adik-adikmu. Aku tidak suka, kamu mengajak Kafka tinggal di rumah kita. Aku enggak mau anak kita tertular penyakitnya_"
Nina menjeda kalimatnya, ia mengusap air mata yang jatuh dengan begitu derasnya.
"Aku cemburu saat lihat kamu lebih memperhatikan Kafka dari pada aku. Aku tahu, Mas. Cemburuku tak masuk akal. Tapi, aku memang secemburu itu lihat kedekatan kalian. Mas ingat? Dulu, Mas sering pergi hanya untuk mencari biaya pengobatan Kafka. Sejak saat itu, aku berpikir bahwa Kafka hanya penghalang di keluarga kita. Dia hanya benalu dalam rumah tangga kita. Aku gak suka dia. Tapi, Mas ..."
Ryan terperangah saat mendengar Nina terisak lebih keras, membuat Ryan berpikir ulang tentang semuanya. Apa istrinya terluka begitu dalam? Apa istrinya sangat tersakiti selama ini? Semua pertanyaan itu, berputar dalam benak Ryan. Kali ini, Ryan ragu jika istrinya bisa ia genggam kembali. Semua bayang-bayang kehancuran, seolah menghantui Ryan dan membuatnya setengah mati ketakutan.
"Aku sadar sekarang, Mas. Aku sadar dengan semua sikapmu. Kafka begitu berarti dalam hidupmu, seharusnya aku tahu itu. Sekarang, aku mengerti posisimu sebagai suami bagiku, anak bagi Bapak dan Ibu, serta Kakak untuk Adik-adikmu. Aku sadar bahwa tanggung jawabmu lebih besar dari pada aku karena kamu laki-laki, Mas. Aku menyesali semuanya, Mas. Aku menyesali sikapku yang tidak dewasa. Bahkan, setelah aku memilih pulang malam itu, di rumah aku menangis semalaman. Aku takut, Mas. Aku takut kamu benar-benar akan menceraikanku ... Hiks ... "
KAMU SEDANG MEMBACA
Rubik √
Ficção AdolescenteKafka Riza Al-Hamdan, seorang pemuda yang memiliki banyak mimpi. Namun, jalannya tak pernah mudah. Lika-liku hidupnya pun, begitu panjang. Kafka, anak ketiga dari lima bersaudara itu, ingin menjadi penopang untuk kebangkitan keluarganya. Mampukah Ka...