Chapter 7

143 31 6
                                    

***

"Lalu bagaimana denganmu? Kau ikutan tak ada kabar sepertiku. Bedanya kau akan dicari oleh banyak orang, Jim. Para penggemarmu"

"Apa kau juga termasuk?"

"Tentu saja, aku masih dan selalu menjadi penggemarmu, Park Jimin"

"Tapi mengapa kau memilih meninggalkan idolamu ini tanpa kabar? Kau menghindariku, Yoo Jeongyeon. Apa aku benar-benar salah? Apa perasaan yang tidak aku rencanakan untuk hadir ini juga salah?"

"Jimin, aku mohon! Aku tidak ingin merusak pertemuan kita"

"Justru aku datang jauh-jauh ke tempatmu agar bisa meluruskan masalah kita. Karena setelah ini, mungkin aku tak punya banyak waktu lagi untuk bertemu."

"Kau mau kemana?"

"Nanti kau akan tahu, Yoo Jeongyeon."



"Wow! Kebetulan sekali nama pemeran wanitanya mirip denganku. Apa mungkin penulis skenarionya salah satu penggemarku?!"

Dengan sebungkus keripik gandum ditangan, Jeongyeon asyik mengomentari serial drama yang direkomendasikan salah satu teman kampusnya. Entah sudah berapa kaleng soda dan banyaknya camilan yang ia makan.
Maraton drakor sembilan episode sekedar mengusir rasa jenuh karena libur panjang.
Laptopnya bahkan terus terhubung dengan kabel selama lebih dari lima jam.
Badan bertelungkup dilantai dengan remahan keripik yang sedikit mengotori gadget dihadapannya.

Suara dari wajan dan spatula yang saling beradu tidak mengalihkan atensi Jeongyeon dari layar yang memunculkan para aktor dan aktris dalam drama tersebut. Pun wangi dari masakan yang telah matang dengan aroma menyengatnya itu tak membuat Jeongyeon sedikitpun beranjak, meski si perut mulai meraung lapar.
Hingga ketika suara derap langkah dari arah pantry menuju ruangan terdengar, barulah Jeongyeon mendongakan kepala hanya untuk melihat bahwa sang Bibi yang tak lain adik dari mendiang Ibunya itu menyambangi Jeongyeon setelah mematikan kompor elektrik.

"Hei, pemalas! Apa tulang punggungmu itu tak sakit terus telungkup selama berjam-jam diatas lantai, hah? Mentang-mentang libur panjang, kau habiskan waktumu dengan hal tak berguna. Bangun, bangun! Aku mau bersihkan rumah ini. Kau selalu saja menyisakan remahan saat makan seperti anak umur lima tahun. Sungguh merepotkan."
Bibi Park hanya bisa misuh-misuh melihat keponakannya yang masih juga enggan beranjak dengan kembali fokus pada layar ukuran 17 inci tersebut.

"Ini sudah satu minggu, dan kau mau menyia-nyiakan waktu tiga bulan hanya untuk rebahan didalam rumah begitu? Oh ayolah!" Gerutunya lagi.

"Berisik, Bibi." Jeongyeon yang sudah bangkit dan duduk ditepian lantai beralas karpet coklat tua itu, merapikan jepitan pada poninya sejenak untuk kemudian melanjutkan ucapannya

"Kau pikir jaman sekarang mudah mencari kerja?! Lagipula untuk apa? Aku masih punya simpanan uang dari Pak tua itu. Dan tentunya ada Junmyeon, dompet berjalan yang bisa dengan mudah kupinta untuk mendapatkan apapun yang aku mau."

"Junmyeon? Siapa lagi itu? Oh, apakah pria Wang yang kemarin sudah tak lagi bersamamu? Ck, Dasar anak nakal. Percuma kunasehati berapa kalipun, Ayah dan anak memang sama saja."
Wanita berumur kepala tiga itu memilih menghentikan aktifitas bersih-bersihnya.
Mengingat waktu sudah menunjukan pukul dua belas siang dan badannya terlampau lelah. Ia menyimpan kembali alat pembersih tersebut lalu mengambil air dingin dalam kulkas untuk melegakan tenggorokannya.

Jeongyeon sudah menutup laptop dan merapikan yang lainnya saat Bibi telah kembali ke ruangan yang sama. Duduk di sofa sambil menyilangkan kedua tangan didepan dada, ia menunggu wanita itu menyelesaikan sesi dahaganya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Jangan menilai orang hanya dari luarnya saja. Dan aku tidak suka disamakan dengan si tua itu." Jeongyeon menampik ucapan sang Bibi sedatar mungkin.

Menyimpan gelas yang telah tandas airnya, lalu diletakan sembarang di meja. Bibi Park duduk bersilang kaki di sofa yang berhadapan langsung dengan keponakannya.
Ia memperhatikan cara berpakaian Jeongyeon yang memang banyak berubah semenjak kematian sang Ibu.
Mungkin juga karena waktu begulir yang tak disadari Bibi Park telah mendewasakan Jeongyeonnya, merubah si gadis menjadi pribadi yang berbeda.
Membuang kesan feminim yang dulu begitu melekat padanya, terganti dengan kesan urakan untuk ukuran gadis yang memang beberapa kali mendapatkan pujian akan wajahnya yang cantik sekaligus tampan secara bersamaan.

Dan lihatlah tampilannya sekarang.
Meski didalam rumah, rasanya sang Bibi masih tidak habis pikir dengan hotpants yang ujungnya dibuat berantakan tersebut. Belum lagi kaus hitam kebesaran namun hanya sebatas pusar. Rambut yang digulung asal, serta tato di tengkuk leher.
Beruntungnya Bibi Park masih bisa melarang Jeongyeon untuk menambah tindikan serta tato pada bagian punggung, dengan ancaman bahwa uang kuliahnya akan dihentikan dan dia harus berusaha sendiri. Mengingat dirinya bukanlah mahasiswa berotak cerdas, tentu sulit untuk Jeongyeon mendapatkan beasiswa dikala orang lain mungkin memilih untuk mencari kerja.

Jeongyeon masih memusatkan pandangan pada adik dari Ibunya.
Mulai merasa bosan sebab daritadi yang Bibi Park lakukan hanya memperhatikannya dari atas sampai bawah seolah sedang menelanjangi dirinya.

"Pertama, bisakah kau ubah cara berpakaianmu itu? Akan kubelikan dress cantik jika kau kembali seperti Jeongyeon yang aku kenal. Dan apa katamu? Jangan menilai dari luarnya saja? Ck, kau pikir dirimu tidak begitu?!"

"Siapa yang Bibi maksud?"

"Kau jelas tahu siapa yang kumaksud, Yoo Jeongyeon. Kita mungkin sama, menilai orang lain hanya dari luarnya saja. Tapi aku mengetahui sesuatu yang tidak kau ketahui, namun aku mulai lelah karena beberapa alasan. Jadi kuperingatkan padamu, kembalilah jadi dirimu yang dulu --- atau kau akan menyesal."
Bibi Park mengakhiri ucapannya sambil mengangkat tubuhnya dari sofa, melangkahkan kaki hendak mengambil tas yang tergeletak diatas nakas bersebalahan dengan sofa yang Jeongyeon duduki.
Sebelum benar-benar pergi, ia menyempatkan untuk berucap kembali pada Jeongyeon yang masih bergeming ditempatnya.

"Aku sudah memasak makanan untukmu, kurasa itu cukup sampai malam tiba. Dan kudengar ada info lowongan kerja di salah satu toko kue tidak terlalu jauh dari sini. Cobalah kesana! Aku bisa bosan jika harus melihatmu setiap hari dengan bermalas-malasan seperti ini."

Terdengar pintu ditutup cukup keras, namun itu tak membuat Jeongyeon bergerak barang sedikit.
Pikirannya seolah menerawang, mencermati perkataan yang beberapa menit lalu diucapkan oleh sang Bibi.

Jeongyeon tidak mengerti, adakah sesuatu yang tidak ia ketahui?
Memang kenapa jika ia berubah?
Bukankah perubahan itu selalu ada dalam diri manusia?
Dan tentang dirinya yang selalu bermain dengan banyak pria, memangnya salah?
Bukankah ini yang Ayahnya ajarkan padanya?
Sekedar mencari kesenangan atau keuntungan dari hubungan tak jelas seperti yang ia jalani.
Dan apa tadi, menyesal?
Jeongyeon sama sekali tidak menyesal dengan segala yang telah ia perbuat.
Seperti katanya, dia akan selalu menjadi bayangan Ayahnya sendiri, dan tidak ada yang bisa menghentikannya.
Pikirannya tiba-tiba teringat lagi akan kalimat akhir yang Bibi Park ucapkan sesaat sebelum benar-benar pergi tadi.

"Lowongan kerja? Toko kue? Mungkinkah--- si bahu lebar?"

Sedetik kemudian, Jeongyeon beranjak dari sofa, naik menuju kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian yang lebih rapi dan sedikit formal.
Berharap siang ini, ia masih beruntung untuk setidaknya mendapatkan perkerjaan sebagai pencatat menu ditempat yang akan kembali mempertemukan dirinya dengan pelayan tampan menyebalkan itu tempo hari.

***

Untuk cerita ini, aku update setiap hari Jumat.
Untuk 'gara-gara baper', setiap hari Rabu.
Belum tentu setiap minggu sih, tapi harap-harap kalian setia nunggu dan simpan ceritaku di Library.
Terimakasih 💙

Cheese-crack [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang