Chapter 11

162 27 2
                                    

***

Kala itu Jeongyeon masih berusia 18 tahun.
Dengan tubuh yang tinggi semampai, rambut panjang terurai, serta wajah yang selalu ia usahakan untuk tersenyum.
Menghadapi dunia remajanya menuju pendewasaan sebab sebuah takdir.
Memang terkadang kehidupan yang terus berjalan akan merubah keadaan manusia.
Jeongyeon yang dulunya manja, kekanakan, periang, kini seolah menghilang tergantikan dengan Jeongyeon si penebar senyum palsu dihadapan dunia, tak terkecuali pada Ibunya.

Leukimia, kanker jaringan pembentuk darah yang menghambat kemampuan tubuh melawan infeksi.
Bersarang pada tubuh sang Ibu selama hampir satu tahun lamanya.
Saat itu Jeongyeon baru memasuki kelas tiga Sekolah Menengah Atas.
Ujian nasional, praktik serta les tambahan seolah mengucapkan selamat datang padanya.
Kesibukan sebagai siswa tingkat akhir yang lumayan menyita waktu.
Namun hidupnya malah harus dihadapkan dengan kenyataan pahit atas penyakit yang diderita sang Ibu.
Semakin bertambahlah kesibukan seorang Yoo Jeongyeon.

Tidak.
Bahkan ia memilih untuk merawat dan memeriksa selalu keadaan Nyonya Yoo.
Pendidikannya sedikit terbengkalai, ia menghapus jadwal les tambahan dengan check-up rutin Ibunya, tidak lagi aktif dalam kegiatan apapun di sekolah selain belajar harian biasa.
Nilai-nilai pelajaran yang seharusnya ditingkatkan sebab akan banyak latihan untuk ujian kelulusan, malah menurun tersebab dirumahpun ia lupa belajar.
Jeongyeon adalah tipe manusia yang terlalu fokus pada satu hal lalu mengabaikan hal lainnya.

Hari demi hari berlalu hingga berganti menjadi tahun.
Ya, kini satu tahun sudah Ibunya hanya menghabiskan waktu diatas brankar Rumah Sakit. Salah satu pasien pengidap kanker yang beruntung sebab masih bertahan selama itu.

Awan mulai gelap, namun jam dinding di ruangan baru menunjukan pukul empat sore.
Langit tak ubahnya crayon abu tua yang menutupi matahari.
Gemuruh samar terdengar, angin bertiup cukup dingin.
Beruntungnya Jeongyeon sampai di Rumah Sakit sebelum hujan turun.
Ia lapisi almamater sekolah dengan mantel untuk menghangatkan diri dari hawa diluar yang terasa sampai ke ruangan.
Gadis jangkung itu membuka pintu berwarna putih tanpa mengetuknya, namun juga berusaha sepelan mungkin. Takut Nyonya Yoo atau Ibunya itu sedang tertidur dan menggangu waktu istirahat beliau.

"Santai saja, Jeongie. Ibu tidak sedang tidur kok. Masuklah!"
Nyonya Yoo memperbolehkan anaknya masuk sembari tersenyum lemah. Pergerakannya semakin laun seiring dengan penyakitnya yang sudah memasuki stadium akhir.

"Sore, Ibuku yang cantik. Maaf aku terlambat. Tadi disekolah teman-teman meminta berfoto dulu, alasannya untuk kenang-kenangan karena akan memasuki jenjang kuliah. Ck, padahal sebagian dari mereka masih satu universitas. Drama sekali, sampai kami menangis dan saling berpelukan."
Jeongyeon terkekeh mengingat iapun tadi malah terbawa suasana dan ikut menangis dengan teman-temannya.
Wajar saja, tiga tahun mereka lalui bersama penuh suka duka.
Sekarang kehidupan baru dibangku kuliah akan segera mereka tapaki.
Memilih jurusan yang sesuai dengan kemampuan atau mungkin untuk kebaikan demi hidup kedepannya.

"Kupikir kau akan menangis dipojokan karena tidak lulus atau minta ditenggelamkan di sungai Han. Syukurlah anakku yang bodoh tapi cantik ini lulus juga."
Tertawa sambil mengejek anaknya menciptakan kebahagiaan tersendiri untuk sang Ibu. Meski setelah itu terlihat Jeongyeon mempoutkan bibirnya mendengar ucapan Nyonya Yoo.

Menyimpan beberapa barang yang ia dapat dari sekolah, Jeongyeon mendekati brankar Ibunya lalu duduk dipinggir kasur dengan sprei putih tersebut.
Meraih tangan kurus wanita tercintanya, mengelusnya sembari memejamkan mata.
Gadis itu bernafas lega, akhirnya ia bisa mempunyai waktu lebih lama untuk merawat Ibunya. Ia sudah berencana menunda kuliah demi kesembuhan sang Ibu. Itulah mengapa ia bahagia melepas masa sekolah tingkat akhirnya dan lulus meski dengan nilai standar.

Cheese-crack [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang