Chapter 10

163 30 7
                                    

***

Pagi ini langit sedang kurang bersahabat dibanding hari-hari kemarin.
Terlihat awan hitam mulai menutupi sinar mentari serta kabut tebal yang ikut menyelubungi bagian atas bangunan yang tersusun di kota metropolitan tersebut.

Jalanan tak terlalu dipadati oleh kendaraan.
Orang-orang yang menggunakan payung terhitung bilangan jari. Sisanya mencoba berjalan lebih cepat agar segera sampai ketempat tujuan tanpa terjebak derasnya air langit.

Tak hanya manusia, bahkan terlihat burung-burungpun beterbangan kesana kemari mencari tempat perlindungan mereka.
Padahal mungkin saja mereka adalah induk yang sedang mencari makan untuk anak-anaknya yang baru menetas pagi ini.

Lantas apakah patut menyalahkan hujan, sedangkan iapun termasuk salah satu berkah yang Tuhan turunkan untuk para pribumi?

Tak munafik, sebagian dari kita manusia menyalahkan salah satu sumber berlangsungnya kehidupan dibumi ini.
Merasa bahwa ia seringkali datang tak tepat waktu, serta turut mengundang hal-hal melankolis tanpa diduga.
Memaksa kembalinya ingatan berbau kesedihan yang kemudian diiringi sebuah tangisan.
Persis seperti hujan tersebut, yang sebelum kemunculannya selalu ditandai dengan mendungnya mega dilangit terang yang berangsur menjadi gelap.

Jeongyeon baru saja sampai di toko tempat ia bekerja sebelum hujan turun semakin deras membasahi tubuhnya yang hanya mampu berlindung dibawah benda melengkung bernama payung.
Beruntung ia selalu menyediakan barang satu itu meski dicuaca panas sekalipun.
Rok lebar tiga perempat berwarna putih yang digunakannya sedikit terciprat air saat berlari untuk mencapai toko.
Ia kemudian melepas cardigan rajut yang tak beda jauh warnanya dengan kemeja biru pastel yang dikenakannya.

Bukankah itu terlihat manis?
Berterimakasihlah kepada Bibi Park yang membelikannya beberapa pakaian yang lebih sopan serta feminim.
Karena kebanyakan pakaiannya hanya rok dan celana pendek belel, sedangkan untuk pekerja paruh waktu ditempat kerjanya hanya disediakan apron dan topi. Sudah tentu penampilan nyelenehnya akan mengundang banyak mata dan mungkin cibiran perkerja lain jika tetap menggunakan pakaian-pakaian favoritnya itu.

Mina tak masuk. Kabarnya ia tidak enak badan dan sudah meminta Jeongyeon untuk menggantikan sementara posisinya sebagai kasir juga penjaga etalase kue.
Jeongyeon memang cukup mengerti cara mengaplikasikan mesin tersebut. Karena jika waktu luang, ia selalu penasaran dengan benda besi itu dan beberapa kali mempelajarinya.

Gadis November itu sudah menggunakan atribut kerjanya setelah menyimpan barang miliknya didalam loker khusus karyawan.
Menelisik seluruh ruangan yang dirasa akan sepi pengunjung karena hujan yang justru semakin deras membasahi sebagian bumi tempat ia berdiam saat ini.

Beranjak menuju meja yang ada disudut ruangan, Jeongyeon kemudian mendudukan dirinya dikursi yang bersampingan dengan kaca luar toko yang sudah berembun. Rintikan air berkali-kali membasahi kaca tersebut.
Gadis yang kini menopang dagunya dengan sebelah tangan itu tak henti memandang keluar. Memejamkan matanya seraya merekam melodi langit tanpa gemuruh yang memekakan telinga.

Ingatannya berkelana, bertemu kembali dengan waktu dimana satu hari itu terjadi beserta hari-hari lainnya.
Sebuah kenangan yang banyak merubah kehidupannya.
Masa yang tak mungkin dapat terlupa dengan mudah dalam benaknya.

Kedua manik itu terbuka, bersamaan dengan setetes air yang meluncur membasahi kedua pipi lembutnya.
Tanpa menyadari, didepannya telah ikut duduk seorang pria dengan longcoat berwarna abu tua dan celana hitam yang menutupi kaki jenjangnya.
Pria dengan bahu lebar serta bibir tebal yang masih mengamati gadis tak lain salah satu pegawai ditoko miliknya yang kini masih memandang air langit dibalik kaca besar disampingnya.

Cheese-crack [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang