Laki-laki itu bernama Wirya. Seperti namanya, ia memanglah sosok mulia yang kupuja. Kudamba, hingga rasanya pikiran ini penuh sesak akan kumpulan asa yang berputaran di kepala. Merancang keping-keping harapan masa depanku dengannya.
Ia adalah laki-laki yang tujuh tahun ini namanya tak pernah absen dari tiap rapalan doaku. Untaian rayuanku kepada semesta yang berisikan permohonan akan satu hati manusia. Yang meski raganya kini kudekap erat, hatinya tak pernah dapat kumenangkan.
"Wirya.." Panggilku pelan. Tanganku tertaut di bawah meja, meremas jemariku. Degup jantungku kencang.
"Hm?"
Ia menanggapi singkat. Matanya tak lepas dari layar laptop yang terbuka di depannya dengan jemari-jemari indah yang menari bebas di atas papan ketik. Mengerjakan kecintaannya. Pekerjaan.
"Minggu depan Mama mengundang makan malam." Ucapku cepat. Kulirik ia takut-takut, menanti reaksi pria kecintaanku.
Jemarinya berhenti mengetik, pandangannya terangkat naik. Menatap tepat ke manik mataku. Memancing degup jantungku semakin cepat.
"Kapan?"
"Sabtu malam."
"Okay. Tapi sesuai perjanjian yang pernah kita sepakati, ya."
Aku termenung ketika mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari bibirnya. Seketika kurasakan bulu kuduk meremang ketika mengingat perjanjian apa yang ia maksud. Lalu memikirkan bagaimana cara agar setidaknya kali ini, aku bisa terhindar dari perjanjian yang ia maksud.
"Harus?" Kugigit bibir bawahku, memandangnya dengan tatapan memohon agar aku tak harus melakukan perjanjian yang sebelumnya memang sudah kami sepakati setidaknya enam tahun yang lalu, setahun setelah kami menjalin hubungan.
"Deals are deals. We've talked about it earlier. Aku tak terima penolakan." Wirya menjawab tak acuh. Matanya kembali fokus pada layar laptop.
Bertahun-tahun bersama, rasanya aku sudah terlalu familiar dengan Wirya yang seperti ini. Aku juga merasa familiar akan rasa sakit yang kerap kali ia torehkan. Seakan hati ini sudah mati rasa, hingga akhirnya meski sebanyak apapun dan sedalam apapun luka yang ia berikan, aku akan selalu kembali bermuara padanya.
Kerap kali aku bertanya, namun kerap kali juga tanyaku tak pernah terjawab. Hingga pada akhirnya semua tanyaku hanyut dibawa prasangka, yang lagi-lagi menimbulkan banyak patahan asa. Membuatku lagi-lagi menelan pahitnya kecewa. Tak apa. Aku tetap cinta Wirya.
Laki-laki tampan itu—Wirya, akan selalu menjadi lelaki yang kupuja. Meski ratusan bahkan ribuan kali kecewa yang kuterima, caranya menyayangiku sederhana. Ia tak pernah ingkar pada setiap ucapan yang terlontar dari bibir manisnya yang tiap kali mengecupku terasa memabukkan.
"Oke. Tapi kamu janji datang kan, Wir?"
"No need to worry about that. You can take my words, Gis." Sesederhana itu, Wirya selalu menepati perkataannya.
***
Sabtu malam tiba. Agista berdiri di depan cermin seukuran tubuh. Mematut dirinya yang terbalut dalam dress biru langit yang melekat sempurna di tubuhnya. Ditatapnya sekali lagi pantulan dirinya, sebelum akhirnya memoleskan lipstik berwarna nude pada bibirnya.
"Agis, Wirya sudah datang."
Kepalanya menoleh kearah pintu kamarnya yang tertutup. Cepat-cepat ia melangkah keluar dari dalam kamarnya ketika mendengar panggilan sang ibu.
Di ruang tengah, Wirya sudah duduk manis di sofa. Berhadapan dengan sang Mama. Senyum hangat laki-laki itu menyambut kedatangan Agis.
"Hai."
![](https://img.wattpad.com/cover/241273497-288-k362921.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Day and Night [Day6 Mature Oneshot]
Fanfic⚠️Some words in these stories might be harsh and triggering. Keep in mind to read it in your own risk. ⚠️Please just read this if you're already 21 or above. ⚠️Underage please step back!