t w o

3K 517 143
                                    

Chapter 2 : No sleep
3725 words

Satu ransel cukup untuk membawa semua bawaanku. Ditambah keranjang kecil berisi toples kue, roti, dan beberapa toples selai buatanku sendiri. Aku memang sengaja menyempatkan diri membuat biskuit dan roti untuk dibawa ke The Burrow, rasanya tidak sopan saja berkunjung tanpa buah tangan.

Sisa kuenya masih banyak, pilihanku ada dua; menyimpannya di rumah sampai basi, atau ikut serta membaawanya kesana. Tapi kalau aku mengikuti pilihan kedua, aku bakal kerepotan di jalan nanti. Jadi akhirnya aku berikan saja pada tetangga terdekatku.

"Permisi," Siang itu aku mengetuk-ngetuk toples kue yang aku bawa ketika berdiri di depan pintu satu-satunya rumah sebelah yang paling dekat dengan kediamanku. "Permi—oh, hai Nyonya... Umm,"

Yaampun, aku tidak pernah tahu nama tetangga. Dengan melihat wajahnya yang muncul dari celah pintu dengan ketakutan, aku segera mengganti wajah bingungku menjadi ceria lagi. Kemudian aku menjulurkan tangan untuk memberikan toplesnya.

"Saya [Name], yang tinggal di sana. Saya membuat banyak ini dan, kuharap anda berkenan mencicipinya." Ucapku menunggu uluran tangan Si Nyonya.

Sekian detik Nyonya yang aku lupa namanya ini hanya menatapku ragu dan takut, sementara tanganku masih kokoh dalam posisi terulur. Sampai akhirnya dia meraih toples itu juga. Tapi dengan terpaksa, juga ragu yang tergambar jelas di wajahnya. Dia membanting pintu di depan wajahku setelah membisikan kata "Terimakasih,"

Sekitar pukul tiga sore, aku baru selesai membereskan rumah untuk ditinggalkan dalam waktu lama. Segala macam sisa makanan yang mudah basi, aku simpan di tanah pekarangan rumah—supaya menjadi pupuk nantinya. Perabotan rumah ku tutup dengan kain putih agar tidak mudah kotor.

Satu jam kemudian sehabis mandi, aku mengecek barang-barang bawaanku sekaligus bersiap untuk segera berangkat. Kubilang hanya satu ransel yang di jejali berbagai macam pakaian nyaman yang aku bawa. Dan dengan begitu, harusnya perjalannya akan berjalan lancar sejahtera.

Tapi ternyata, perjalananku memang harus serba repot.

Rambutku terkait ranting pohon beberapa kali, sandal yang aku gunakan lepas capitannya—mengharuskanku menggantinya dengan sepatu di tengah jalan. Yang paling parah, pertigaan itu sudah nampak di hadapanku sekarang. Dan aku masih tidak ingat harus berbelok kemana.

Mencoba berpikir logis, bahwa kanan itu tidak selalu baik.

Jadi aku belok kesana.

Dan hasilnya? Tersesat. Pohon-pohon makin rimbun, jalan buntu dipenuhi rumput-rumput setinggi lutut. Rok yang aku pakai sesekali terkait pada semak-semak yang sama sekali tidak rendah. Ditambah, matahari makin berangsur turun, sinarnya mulai meredup seiring aku yang terus berpikir lebih baik meneruskan atau berbalik dan mengikuti jalan ke arah kiri.

Lalu aku sadar, selama ini aku memunggungi bukitnya yang kini terlihat dari celah dua pohon besar di belakangku. Dalam helaan nafas ringan, aku kembali. Kalimat Mr. Weasley tiba-tiba menggema di kepalaku, seolah memampus-mampusi keputusanku tadi untuk memilih belok ke kanan.

"Saat kau menemukan pertigaan, belok ke kiri. Bukan ke kanan."

○●○

Gubuk tua itu berdiri reyot di tengah-tengah hamparan ilalang yang bergoyang-goyang pelan diterpa angin. Baru saja aku mengangkat tangan untuk mengetuk pintu, baru kusadari kalau gubuk ini ternyata tidak ada pintunya.

"Halo? Ada orang didalam?" Dengan lancang aku menerobos masuk.

Tidak ada siapapun di sana, dan aku tidak yakin kalau kakek tua ini bersembunyi. Pasalnya, gubuk ini sangat sempit. Hanya berisi satu sofa tua, dengan meja dan tungku di hadapannya. Ada kursi reyot juga di pinggir sofa. Merasa sudah terlalu larut dan takut ketahuan, aku mulai meraba-raba semua benda di situ—mencari Portkey-nya.

Harry Potter and The Goblet of Fire X ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang