Nadine berdiri gamang, di depan rumah sederhana dengan tembok bata yang sudah rontok di sana sini. Cat tembok yang semula berwarna birupun, sudah banyak terkelupas karena waktu dan cuaca. Ia memandag dengan sedih, menyadari jika rumah ini akan hancur jika tidak diselamatkan.
Mengembuskan napas panjang, ia melangkahkan kaki ke dalam. Memberi salam dan masuk tanpa disuruh. Langkahnya tertuju langsung ke kamar kecil di bagian belakang dan terhenti di depan pintu. Ia menatap iba pada sesosok renta yang berbaring di ranjang kecil.
“Nenek, ini aku datang.” Meraih kursi kecil di dekat pintu, Nadine duduk dan meraih tangan sang nenek lalu menciumnya. “Nenek tidur, ya? Dengar suaraku nggak?”
Tidak ada jawaban, sang nenek tetap berbaring tak bergerak. Meletakkan tas di atas ranjang, Nadine mendesah, menatap sekeliling kamar yang suram tanpa penerangan berarti. Tangannya meraba-raba kasur dan mendapati betapa tipis busanya.
Ia mengelus tangan keriput, bergerak lembut ke atas lengan dan meletakkan kepalanya di sana. Ingatannya berputar tentang Nenek Sarmi yang baik hati dan penyayang. Orang tua yang banyak membantunya hingga seperti sekarang. Ia menyesal, tidak cukup banyak uang untuk membantu sang nenek, agar mendapatkan perawatan lebih baik.
Sekarang, ia merasa prihatin dengan kondisi sang nenek yang penyakitan, dan harus tinggal di kamar sempit.
“Oh, kamu sudah datang? Mana uangnya? Mau ke warung sekarang!”
Nadine mendongak, menatap wanita setengah baya memakai daster biru dan mengulurkan tangan ke arahnya. Ia tidak menjawab, bangkit dari kursi dan melangkah keluar diikuti wanita itu.
“Kamu budek, ya! Diminta uang diam saja!”
“Bibi, bukannya bulan lalu aku kasih uang buat beli kasur? Kenapa sampai sekarang kasur Nenek belum diganti?”
Kurnia tersenyum simpul, matanya menyipit ke arah Nadine. “Maksud kamu apa? Memang bulan lalu kamu kasih lebih tapi kami juga butuh untuk biaya sekolah Marisca.”
“Biaya sekolah Marisca? Bukannya itu sudah dibayar lunas dua bulan lalu? Biaya apa lagi?”
“Hei, kayak kamu nggak pernah sekolah saja!” Kurnia berkacak pinggang. “Ingat, ya! Dulu saat kamu sekolah, Nenek Sarni juga meminta bantuan kami!”
“Ini bukan masalah bantuan, ini masalahnya kenapa setiap uang yang aku kasih ke Bibi, nggak pernah cukup.”
“Hei, kamu pikir murah biaya perawatan nenekmu? Belum lagi harus bayar air dan listrik! Seenak saja kamu mau ingkar, mana uangnya!” Kurnia membentak, mengulurkan tangan ke arah Nadine.
“Tolonglah, Bi. Tiap bulan aku kasih bisa 4-5 juta, masa, iya, nggak cukup untuk Nenek.”
Kurnia tersenyum kecil, mendekat ke arah Nadine dan menunjuk. “Uang segitu kecil untukmu Nadine. Pikirkan lagi kalau Nenek dirawat di RS, kamu pikir 4-5 juta cukup? Masih syukur aku yang ngrawat! Kamu, sudah dipungut. Banyak tingkah lagi!”
Rasa geram merambati hati Nadine. Ia menatap wanita di depannya dengan benci.
“Mana uangnya? Malah bengong!”
Kurnia membentak dengan mata menatap ke arah kamar. Ia tersenyum licik dan bergerak gesit ke samping Nadine.
“Bibi, jangaaan!”
Terlambat Nadine bertindak, karena Kurnia berhasil mengambil tas-nya. Ia meloncat, berusaha meraih tas tapi genggaman sang bibi terlalu kuat. Untuk sesaat mereka saling tarik, hingga tali tas putus dan isinya berhamburan keluar.
Nadine terbelalak, berlutut dan mengumpulkan barang-barang pribadinya yang berserak di atas lantai. Tidak menyadari dompetnya kini berpindah ke tangan Kurnia. Dengan serakah, wanita itu mengosongkan isinya lalu melemparkan dompet Nadine ke lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
SKANDAL CINTA
RomanceNadine, 24 tahun, gadis yang berprofesi sebagai sales apartemen dan juga mempuanyai profesi sampingan sebagai wanita pendamping bagi para pria yang membutuhkannya untuk pesta atau acara tertentu. Nasib membawanya bertemu dengan Dave, pria 32 tahun y...