Bab 7a

9.4K 1.1K 53
                                    

“Tumben kamu datang kemari.”

Dave menatap laki-laki tampan berkulit putih di hadapannya. Mereka jarang bertemu, meski tinggal berdekatan.

“Nggak ada apa-apa.” Laki-laki itu memajukan tubuh. Memandang Dave penuh ingin tahu dengan bola matanya yang besar. “Kalau boleh aku ingin bertanya satu hal.”

“Tentang apa.”

“Perjodohanmu.”

“Kenapa kamu ingin tahu soal itu?”

“Yah, sebagai adik. Apa salahnya aku memberi perhatian pada kakakku.”

Mengerutkan kening, Dave menatap adik laki-lakinya. Dengan penampilan santai berupa celana dan kemeja, Evan memang terlihat luar biasa tampan. Mereka mirip, yang membedakan hanya warna kulit. Jika Evan cenderung putih, maka Dave kecoklatan. Mirip dengan kulit mamanya yang wanita jawa dengan kulit coklat eksotis. Mereka saudara satu ayah beda ibu.

“Maksudmu Katrin?”

Evan menunjuk. “Yes, wanita menyebalkan itu. Dia membuatku muak dengan sering datang ke showroom. Memang, sih, ada membeli dua mobil. Tetap saja, caranya menempel dan mencari informasi tentang kamu membuatku kesal!”

Dave menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap adiknya lekat-lekat. Hubungan mereka memang tidak dekat tapi ia menghargai Evan.

“Aku tidak tahu apa yang direncanakan papa dan mamamu. Tapi, mereka sudah terlalu jauh ikut campur dengan urusanku. Termasuk soal jodoh.”

“Aku setuju.” Evan mengangguk. “Sebelum acara makan malam dimulai, aku sudah protes. Tapi, kamu tahu bagaimana tabiat Papa.”

“Keras kepala.”

“Kami sempat cek cok, karena bukan hanya kamu yang ingin dijodohkan. Aku pun sama. Aku bilang, tidak semua hal dihitung dengan uang, termasuk soal pasangan hidup.”

“Tumben kamu pintar.”

“Hei, jangan begitu. Dari dulu aku bijaksana. Kamu saja yang tidak melihatnya.”

“Baiklah, aku mengerti. Jadi, kamu datang hanya ingin tahu soal itu?”

Evan mengangkat sebelah bahu. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan sang kakak. Dalam hati mengagumi, kalau sang kakak memang selalu serius dengan pekerjaannya. Tidak peduli, jika harus bertentangan dengan keluarga, Dave akan tetap melakukan sesuatu yang menurutnya benar.

“Aku senang kamu mengikuti jejak Papa. Dan, membuktikan pada orang-orang kalau kamu bisa.”

Dave tersenyum tipis. “Yang berarti membantumu untuk tidak perlu melanjutkan perusahaan keluarga kita.”

“Hah, aku punya usaha sendiri.”

“Baiklah, aku akui itu berhasil. Tapi, mamamu selalu mengatakan aku mengambil semua bagianmu.”

Mengetuk-etukkan jari di atas meja, Evan menatap kakaknya lurus-lurus. Sebenarnya, hubungan mereka memang tidak terlalu dekat. Sebagai saudara ada sekat tipis yang seakan menghalangi mereka. Namun, ia tahu kalau Dave tidak seburuk sangkaan orang tuanya. Bisa dikatakan,  lebih baik dari dirinya terutama soal pekerjaan.

Dari kecil mereka selalu dibanding-bandingkan, dengan umur yang hanya terpaut empat tahun membuat persaingan makin  terlihat jelas. Ia tahu, Dave tidak pernah tertarik untuk bersaing dengannya dalam hal apapun, termasuk wanita. Karena kakaknya selalu bisa mendapatkan yang dimau. Ia pun tidak pernah ada niat untuk merebut apa pun yang menjadi milik sang kakak.

“Sebenarnya, sudah waktunya bagimu berumah tangga. Umur 35 tahun udah cukup. Lagi pula, sudah 4  tahun berlalu. Masa kamu--,”

Dave membanting kertas di atas meja. Menatap adiknya lekat-lekat.

SKANDAL CINTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang