Bab 6b

9.2K 1.1K 63
                                    

Senin yang sibuk, Nadine melakukan janji temu dengan dua klien. Ia menyimpan harapan, jika salah satu dari keduanya akan menutup traksaksi di akhir bulan. Ia membutuhkan uang dan berharap banyak penjualan apartemennya akan mulus pada tahun ini.

Sebagai wanita belum menikah, dengan karir sebagai sales property yang lumayan berhasil, banyak yang menanyakan ke mana perginya uang Nadine. Mereka mengatakan, tentu dia bisa kaya dengan menyimpan penghasilannya. Pertanyaan itu juga datang dari Lestari, sahabatnya.

“Aku kalau jadi kamu, sudah beli mobil. Bukan ke mana-mana naik motor. Emang, sih, motor gede. Tetap aja motor!”

Nadine tidak menjawab, membiarkan orang-orang berpendapat tentang dirinya. Ia tidak harus menjelaskan pada mereka, sebagai anak yang tidak punya orang tua, ia dituntut berbakti pada keluarga yang telah mengambilnya. Selama ini, sang neneklah yang mengasuhnya. Paman dan bibinya memanfaatkan cintanya pada sang nenek untuk mengeruk uangnya.

Dimulai dari membayar hutang terus menerus, biaya berobat nenek, dan banyak hal lain.

“Waktu kamu sekolah, Nenek banyak berhutang di sana-sini, sudah sewajarnya kalau kamu yang membayar.” Itu yang diucapkan sang bibi padanya. Karena nenek sakit parah dan tidak bisa bicara, tidak ada yang bisa memberinya kebenaran. Dengan terpaksa, ia membayar hutang yang seakan tidak ada habisnya.

Kini, bebannya ditambah dengan Dave. Tidak tanggung-tanggung mencapai puluhan juta, karena ia melihat sendiri kwitansi pembayaran bengkel perbaikan mobil. Karena itu pulalah, ia menuruti apa pun perintah Dave, bahkan jika harus menyelamatkan laki-laki itu dari wanita penggoda.
Sepulang kerja, Nadine menengok sang nenek dan lagi-lagi terlibat cek-cok dengan tantenya yang marah, karena anak laki-laki kesayangannya dibuat babak belur olehnya.

“Kamu wanita apa preman, bisa-bisanya membuat anakku luka-luka!”

Ucapan Kurnia tidak ditanggapi oleh Nadine. Ia menggenggam tangan sang nenek dan mendengarkan wanita itu mengoceh di belakangnya.

“Kurang ajar kamu! Tangan Aji luka-luka tahu nggak?”

Nadine mendengkus. “Bagus, nggak patah!”

Ia berkelit dengan cepat, tepat saat Kurnia melayangkan pukulan ke belakang kepalanya. Tidak percuma ia belajar bela diri saat sekolah karena ternyata kempuannya , banyak membantu dalam hidup. Kurnia hampir terjungkal, karena besarnya tenaga yang ia keluarkan untuk memukul Nadine. Wanita itu berdiri dengan wajah memerah dan tangan mengepal.

“Brengsek! Wanita tidak tahu terima kasih.Sudah bagus kami mengambilmu dari got! Kalau tidak--,”

“Bukan kalian tapi Nenek!” sahut Nadine memutus perkataan Kurnia. “Neneklah yang banting tulang untuk merawatku. Jadi, jangan coba-coba ingin menimbulkan rasa bersalah dalam diriku, Bi.”

Menyahut tegas, Nadine mengalihkan pandangan ke arah neneknya dan meremas lembut tangan wanita itu itu. “Nenek, ini Nadine. Kapan Nenek bangun?”

Kurnia melotot, menatap dengan benci gadis berambut merah di depannya. Dari dulu, entah kenapa ia tidak pernah menyukai Nadine. Bisa jadi, karena kemunculan gadis itu merebut segala perhatian yang harusnya didapatkan Aji, anaknya.
Orang-orang kampung tidak peduli, meski Nadine ditemukan di pasar dalam keadaan sakit dan luka-luka. Sang nenek yang memungut dan merawatnya bagai cucu sendiri. Siapa sangka Nadine tumbuh menjadi gadis sangat cantik dan menjadi primadona kampung. Bahkan, saat ia melahirkan anak kedua yang juga perempuan, orang-orang membandingkan mereka.

“Nadine jauh lebih cantik dan lebih baik dari, Maria. Anak Kurnia.”

“Nadine itu baik, Maria itu nakal.”

Pada akhirnya, Maria yang merasa tersaingi memilih untuk sekolah di luar kota.Karena tidak ingin dibandingkan dengan Nadine. Itulah yang membuat Kurnia, makin hari makin membenci si anak pungut.

SKANDAL CINTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang