8

36 3 0
                                    

  SUARAKU sudah habis lima menit lalu. Sekeras apa pun aku menyerukan nama Kak Doyoung dan teman lain, tidak terdengar panggilan balik. Tamat sudah riwayat kami. Dugaanku benar. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Woozi pasti berujung musibah. Sama seperti yang terjadi kepada kami sekarang. Tersesat entah di mana.

  Si artis bodoh bukannya membantu, justru mengeluarkan sejenis jala dari tas serut yang kukira tidak berisi apa pun lagi. Jaring-jaring itu dikaitkannya pada dua batang pohon sampai membentuk lengkungan. Saat aku berniat memintanya mencari teman satu regu, ia sudah berbaring dalam hammock dengan kepala bersandar pada kedua tangannya. Ia pikir kami sedang di pantai apa?!

  "Lo gila ya?"pekikku kesal sambil mendekat ke arah Woozi. Dari dekat seperti ini, ia tampak seperti ulat yang siap menjadi kepompong.

  "Jangan teriak-teriak, lagi. Buang-buang tenaga. Mending kita tunggu aja di sini,"jawab Woozi dengan mata terpejam.

  "Kita nggak bisa diam aja! Kita harus melakukan sesuatu."Aku memekik lagi sambil mengentakkan kaki secara berulang.

  "Gue nggak mau buang-buang tenaga. Mending kita istirahat aja dulu. Sebentar lagi hujan juga turun dan di sini tempat berteduh paling OK," Woozi menjawab sambil menguap malas.

  Habis sudah kesabaranku. Bodoh jika aku diam saat jelas jelas ini terjadi karena si artis aneh. Dengan segenap kekuatan yang kumiliki, aku menarik jaring-jaring itu. Woozi bergerak panik sambil berusaha mencerna apa yang sedang kulakukan. Sial. Tubuhnya lebih berat dari yang kubayangkan. Setelah kembali mengumpulkan segenap kekuatan, aku mengayunkan tubuh Woozi keras keras hingga akhirnya ia terhuyung jatuh dari tempat tidur model kepompongnya.

  "Hei! Lo apa-apaan sih?!" teriak Woozi mengaduh kesakitan. Ia masih berusaha bangkit sembari menepuk nepuk kedua siku yang bersentuhan dengan tanah.

  "Ini semua gara-gara lo! Dasar artis gila!" teriakku tidak kuasa menahan kesal.

  Melihat cowok itu terjatuh seperti itu, rasa kesalku sedikit tersalurkan. Kini saatnya aku melanjutkan perjuangan dengan ataupun tanpa si artis tak berkemampuan berpikir ini.

  "Heh… Heh... lo mau ke mana?"

  Tanpa menghiraukan Woozi, aku mempercepat langkah. Yang perlu kulakukan adalah mencari jalur yang benar dengan kembali menelusuri jalanan yang telah kami lewati tadi.

  "Lo mau ninggalin gue sendirian di sini?Fine!"

  Teriakan Woozi menggema, namun aku tidak peduli. Aku tidak mau menghabiskan lebih banyak waktu lagi dengan artis yang pola pikirnya tidak tertebak itu. Saat tersesat seperti ini ia justru memilih untuk tidur? Biarkan saja ia sendirian di sini. Mau tidur kek. Mau dimakan babi hutan kek. Terserah. Aku tidak peduli.

  Sepuluh menit setelah aku berjalan dalam kesendirian, hujan mulai turun. Awalnya hanya sekadar rintik-rintik, namun kemudian menjadi tidak lagi bisa kusepelekan begitu saja. Aku berlari mencari pepohonan rimbun, namun air hujan tetap saja menemukan jalan dari sela-sela ranting dan dedaunan di atasku. Kilat menyambar dan menciptakan suara mengerikan. Mengingat bukan ide bagus berada di bawah pohon saat petir menyambar, aku terpaksa melanjutkan langkah.

  Hujan semakin lebat dan pandanganku mulai kabur. Ditambah lagi tanah merah tempat aku berpijak menjadi begitu licin, membuat aku berhati-hati melangkah. Benar-benar buruk. Riwayatku sepertinya tamat… Tersesat sendirian di bawah hujan yang semakin lebat. Air mata menggenang di pelupuk mata. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang.

  Secara ajaib rintik hujan yang sedari tadi mengenai kepalaku mulai berhenti, berganti dengan suara tetesan air yang mengenai benda lain di atas kepalaku. Saat menengadah, daun pisang kehijauan berada tepat di atasku. Di ujungnya, terdapat tangan berperban.

I'm Not CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang