14

36 3 0
                                    

  DUA minggu sudah berlalu sejak skandal itu. Di media sosial, Woozi memang hilang sepenuhnya. Namun, selama itu juga aku setiap pulang sekolah harus menemani Woozi menikmati kebebasannya. Banyak hal diceritakan Woozi selama kami menghabiskan waktu bersama. Tak henti hentinya diriku dikejutkan dengan berbedanya dunia kami.

  Kehidupan Woozi berbeda denganku yang hanya perlu bangun tidur, pergi ke sekolah, dan memusingkan pekerjaan rumah atau tugas kelompok pada saat tertentu. Mungkin jadwalku sedikit kacau sejak menjadi asisten Woozi. Namun itu belum apa apa jika dibandingkan jadwal seorang Lee Jihoon.

  Woozi bangun pagi dengan sederet daftar yang harus ia kerjakan. Bahkan pada masa vakumnya sekarang, masih ada beberapa list yang ia jalani secara rutin. Berolahraga tiap pagi, menghubungi Bang Jongin untuk mengecek jadwal, sampai menandatangani tumpukan fotonya sendiri. Woozi bilang ini tidak seberapa dibandingkan jadwalnya saat ia aktif.

  Sebenarnya tanpa perlu Woozi jelaskan pun, aku sudah melihat sesibuk apa dirinya. Shooting tanpa henti pagi, siang, dan malam. Bahkan saat pergi ke sekolah, kamera tidak meninggalkannya, kecuali ketika istirahat. Kini aku mengerti mengapa bagi Woozi kesempatan tidur terasa seperti kebebasan mutlak.

  Selama vakum, Woozi terlihat lebih rileks. Ia memintaku menunjukkan kehidupan orang biasa. Berbekal kamera dan masker yang menutupi wajahnya, Woozi mengikuti ke mana pun aku membawanya. Sisi menakjubkannya adalah ia bisa menjadi pribadi yang begitu membumi dalam kehidupan manusia yang ia sebut 'biasa'.

  Lihat saja sekarang. Ia berjongkok di tengah pasar tradisional dan sibuk memperhatikan ibu yang menjual bungeoppang . Aku mendekat kemudian ikut berjongkok di sisi Woozi.

  "Liat deh. Masa kue beginian harganya 4 buah 2000 won." Woozi berkata sambil menunjuk ke arah bungeoppang yang dijual si ibu.

  "Satu kue untungnya berapa, Bu?" tanya Woozi.

  Si ibu memandang Woozi bingung. Dasar orang aneh. Mana ada sih orang yang jelas jelas menanyakan berapa keuntungan barang yang dijual, langsung kepada pedagangnya.

  "Dua ratus aja, Dek," jawab si ibu malu malu.

   Woozi menatap takjub. Ia kemudian buru buru berdiri dan meraih sesuatu dari dompet.

  "Saya beli semuanya, Bu." Ia berkata sambil mengulurkan beberapa lembar uang pecahan 50000 Won kepada si ibu.

   Si ibu tampak terkejut kemudian buru buru meraih lembaran uang yang disodorkan Woozi dengan penuh semangat. Kobaran semangat si ibu mereda saat membuka lipatan uang dan hanya menemukan empat lembar lima puluh ribuan.

  "Yaela ganteng ganteng nggak bisa ngitung. Dagangan saya banyak. Mana cukup dua ratus ribu." Si ibu mengeluh sambil menunjuk ke belakang punggungnya.

   Di sana ada setidaknya sepuluh kotak besar berisi bungeoppang yang terbungkus rapi. Woozi menatap si ibu tidak percaya. Cowok itu berdiri lagi dan memasukkan tangan ke sakunya, namun tidak menemukan apa apa. Sontak aku tertawa melihat adegan yang berlangsung di depanku.

  "Hahaha... Makannya jangan kebanyakan gaya" seruku masih berjongkok di depan si ibu. Lalu aku berpaling pada si ibu.

  "Maaf, Bu. Teman saya emang suka bercanda. Udah, Bu, tolong dibungkus sedapetnya aja," ujarku pada si ibu sementara Woozi salah tingkah.

  Si ibu mendengus sejenak sebelum akhirnya ikut tertawa bersamaku.

  "Nih, saya tambahin bonus karena situ ganteng." Si ibu berkata saat mengulurkan dua kantong hitam besar berisi bungeoppang kepada Woozi.

  Aku menyenggol Woozi, memintanya untuk segera menerima dua bungkusan itu, namun ia menolak dan memilih tetap menunduk sambil memainkan jari jari pada kamera.

I'm Not CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang