13

39 4 0
                                    

   WOOZI membawaku menelusuri jalanan kecil kota ini dengan santai hingga akhirnya menghentikan motornya di taman kompleks perumahan eksklusif. Aku menyebutnya seperti itu karena saat akan masuk, security melakukan beberapa pemeriksaan kepadaku dan Woozi. Seperti biasa, saat menyadari bahwa pria di balik masker hitam itu adalah Woozi, ia dipersilakan masuk tanpa banyak pertanyaan.

  Setelah turun dari motor, Woozi membawaku menelusuri taman yang rumputnya terawat dan dipotong rapi. la berhenti saat kami sampai di dua ayunan di bawah pepohonan rimbun. Woozi menanggalkan jaket hitam, hanya mengenakan T-shirt putih yang pas badan. Aku bertanya tanya, apakah setiap siswa SMA punya badan yang berbentuk seperti Woozi.

  "Suka tempat ini?" tanya Woozi mengagetkanku.

   Aku memandang ke sekeliling dan mengangguk. Sebenarnya ingin aku bertanya mengapa ia membawaku ke tempat ini. Namun perasaan romantis yang menyergap membuat mulutku tertutup dan memilih menikmatinya selama mungkin. Aku bahagia. Meski semu, aku menyukai perasaan yang menyelimutiku.

  "Dulu gue suka main di sini." Woozi merentangkan kedua tangan dan menghirup udara dalam dalam.

  "Sendiri?"

   Aku menyesal telah mengatakannya karena pertanyaan ku membuat senyum Woozi menghilang sejenak.

  "Gue cuma bisa main kalau lagi sendiri," jawab Woozi kembali tersenyum.

  "Karena lo artis?" Aku tidak bisa menghentikan diri untuk bertanya lebih lanjut.

  "Menurut lo?" tanya cowok itu balik.

  Aku memandang cowok itu, iba. Jika dipikir, kasihan sekali Woozi harus menghabiskan banyak waktu sendirian.

  "Hei, anak kecil! Jangan sedih gitu. Bukan berarti gue selalu sendiri. Buktinya sekarang gue ke sini sama lo."

   Aku duduk di ayunan merah bertali rotan di sebelah ayunan yang tengah diduduki Woozi…

  Kent mengayunkan kaki, membuat dirinya berayun. Matanya terpejam, menengadah ke langit. Woozi tampak menikmati momen saat tubuhnya hampir mencapai langit…

  "Lo bahagia jadi artis?"

  Woozi mengangguk sambil tersenyum.

  "Bahagia karena gue bisa ngelakuin apa yang gue suka. Kadang capek sih, tapi itu konsekuensinya."

  "Lo nggak pengin hal lain?"

   Aku mendadak penasaran dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Woozi.

  "Ada sih. Kadang gue pengin break, terus lanjut kuliah di Amerika," aku Woozi sambil menerawang ke depan.

  "Amerika?"

   Woozi  mengangguk. Aku hanya ber-ooo sebagai tanggapan. Amerika terdengar begitu jauh untukku.

  "Lo sendiri?"

  "Maksudnya?"

  "Rencana lo apa?"

   "Mm... gue... nggak tahu. Kadang mau jajan apa pas jam istirahat aja udah bikin gue pusing," jawabku asal.

  Woozi tertawa kecil kemudian mulai mengayun lebih tinggi.

  "Mau coba siapa yang bisa ngayun lebih tinggi?" Woozi mengajak sambil memandang ke arahku dan menghentikan ayunannya.

  Aku menggeleng.

  "Takut?" Woozi memandangku dengan tatapan meremehkan.

  Enak saja. Aku segera mengambil posisi dan Woozi terlihat bersemangat telah berhasil memancing jiwa kompetisiku.

I'm Not CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang