5

52 2 0
                                    

  "GOOD afternoon, y/n. Elsa di sini." suara Bang Jongin terdengar disertai lengkingan tawa yang meninggi. Sepertinya Bang Jongin senang sekali dengan lelucon yang ia ciptakan sendiri. Aku tidak punya banyak waktu untuk berbasa-basi.

  "Bang Jongin, kenapa gue jadi harus nemenin Woozi abis jam sekolah? Perjanjiannya kan cuma selama jam sekolah."

  "Bang? Enak aja. Dikira abang-abang nasi goreng apa? Call me Elsa aja, dear."

  Bukannya langsung menjawab, tawa Jongin lagi-Iagi terdengar di seberang sana.

  "Bang!" ujarku semakin tidak sabaran.

  "Y/n, Direktur waktu itu nggak bilang ya, bahwa selama gue berhalangan jadi asisten Bos Woozi, lo yang bakalan gantiin gue."

  Apa?!

  "Tapi..."

  "Nggak ada tapi-tapi, y/n. Lagi pula kata Direktur, itu sudah tertulis di kontrak yang kemarin lo tandatangani."

  Mendengar hal itu aku segera merutuki diriku yang membubuhkan tanda tangan di atas materai tanpa membaca kontrak secara keseluruhan. Jelas aku dijebak kalau seperti ini jadinya. Kebodohan serta kepolosanku memperparah nasibku. Seharusnya aku tahu tidak mungkin kontrak berlembar-Iembar itu tidak ada apa-apanya.

  "Selain itu ada apa lagi, y/n? Kalau nggak ada, Elsa mau back on duty lagi. Di sini rame banget."

  Tatapan "kubilang juga apa" dari Woozi menyambutku saat ponsel turun dari daun telingaku. Sial. Dia menang lagi. Seharusnya aku kabur saja saat bel pulang tadi berbunyi, bukannya mengikuti perintah Woozi untuk bertemu di parkiran.

  "Jadi?" tanya Woozi, terlihat menahan penuh kemenangan di wajahnya.

  "Gue pastiin lo akan nyesel karena udah nyeret gue sampai sejauh ini."

  Mobil yang kutumpangi berhenti di sebuah pusat perbelanjaan. Woozi berderap turun. lengkap dengan topi, kacamata, dan jaket serba hitam yang entah sejak kapan sudah dikenakannya. Cepat cepat aku turun dan berusaha menyusulnya. Langkahku dihentikan security mal. Dengan tongkat yang ada di tangan, ia menunjuk ke papan pengumuman yang tertempel di pintu masuk.

Siswa berseragam sekolah dilarang masuk.

  Tapi bukannya Woozi tadi melenggang masuk begitu saja dan jelas-jelas masih mengenakan seragam sekolah di balik jaketnya? Eh, untuk apa aku mengeluh? Seharusnya aku bersyukur. Ini artinya aku bisa bebas dari Woozi.

  Bebas!

  Security yang menghentikanku menatapku terheran-heran saat aku tersenyum lebar ke arahnya. Tidak apa-apa jika aku dianggap kurang waras. Seandainya saja Bapak tahu,Bapak sudah menyelamatkan saya hari ini. batinku girang.

  Woozi pasti sudah berjalan jauh ke dalam mal dan tidak menyadari kalau aku tertinggal. Ini kesempatan sempurna untuk pergi secepatnya dari tempat ini.

  "Hei... Hei... mau ke mana lo?"

  Suara itu terdengar saat aku baru saja membalikkan badan dan bersiap pergi dari lobi mal yang semakin ramai.

  Cepat juga si Woozi menyadari ketidakhadiranku. Tapi apa yang perlu kutakutan? Toh Woozi tidak akan bisa mengubah ketentuan yang ditetapkan mal ini, bukan? Belum lagi security yang ikut berbalik untuk mencari asal suara, ternyata berbadan besar dan bertampang sangar. Setelah yakin aku sudah berhasil menyembunyikan wajah kelewat bahagiaku, aku berbalik dan mengarahkan tatapan tidak berdaya ke arah Woozi. Dia tidak boleh tahu aku senang setengah mati dan akan berterima kasih kepada siapa pun yang menciptakan larangan siswa berseragam masuk ke mal ini.

I'm Not CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang