17

33 3 0
                                    

  WOOZI  menghubungiku menjelang malam hari. Dengan suara yang terdengar canggung ia menanyakan luka di kakiku. Terpengaruh kecanggungan Woozi, aku ikut ikut terbata bata menjawab pertanyaannya. Hubungan telepon itu tidak lama.

  Aneh. Aku menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan. Aku perlu berkonsentrasi pada lomba pidato bahasa Inggris bulan depan. Aku harus mempersiapkan bahan dan memulai latihan. Berbekal tekad itu, aku duduk di depan meja belajar dan membaca ulang ketentuan lomba.

  Tema pidato mengenai hal sosial. Desas desus menyebutkan dua perwakilan dari 12 IPS 1 dan 2 akan mengangkat isu kemiskinan. Aku juga sempat memikirkan hal itu, namun ku urungkan mengingat begitu biasanya topik tersebut.

  "Mulai dari sesuatu yang spesifik?" Kata kata Woozi terngiang di kepalaku.

  Sesuatu yang spesifik mengenai masalah sosial.

  Yang kupelajari belakangan ini adalah tentang kebenaran di balik kehidupan Woozi. Perbedaan sekaligus persamaan antara kehidupan artis seperti Woozi dengan siswa biasa sepertiku, tentu menarik. Semangat menyelimutiku dalam sekejap. Jari jariku bermain main di keyboard, mengetikkan detail yang ku ketahui mengenai Woozi. Beberapa kali aku harus menahan tawa mengingat kekonyolan yang dilakukan Woozi. Hanya dengan memikirkan Woozi, malamku menjadi sangat menyenangkan.

  Jika malam sebelumnya aku kesulitan tidur, maka semalam tidurku bagaikan di atas awan. Aku bangun dari mimpi indah saat waktu menunjukkan pukul sembilan. Untungnya ini hari Sabtu, sehingga aku tidak perlu mengkhawatirkan soal pergi ke sekolah. Tante Yoona membolak balik majalah di meja makan saat aku keluar dari kamar.

  "Gimana, udah enakan kakinya?" tanya Tante saat pandangan kami bertemu.

  Aku menggerakkan kaki dan tidak lagi merasa perih.

  "Udah."

  "Tadi pagi, Doyoung titip ini buat kamu." Tante Yoona mengangkat bungkusan plastik berisi buah buahan.

  "Kak Doyoung dateng tadi pagi?Tunggu! Kok Tante bisa tahu namanya Doyoung?"

  "Tentu kami berkenalan, Y/n. Dia datang pagi banget, waktu kamu masih tidur. Tadi sempet nunggu juga setengah jaman, tapi kamu nggak bangun bangun, jadi dia pamit pulang deh," ujar Tante Yoona, lalu kembali membolak balik halaman majalah.

  "Kak Vino bilang apa, Tan?" tanyaku penasaran.

  "Apa ya? Nggak banyak. Oh! Paling aneh ....... kucing. Pas Tante bilang nggak ada, dia kaget."

  Terbongkar sudah kebohonganku soal kucing jadi jadianku.

  "Memangnya kamu bilang ke dia kita punya kucing?" tanya Tante Yoona, menanggapi diamnya diriku.

  Aku mengangguk malu-malu.

  "Aduh, y/n. Kalau kehabisan topik yah nggak perlu bikin cerita yang nggak nggak loh. Pantesan tadi dia bingung banget. Kasian si Doyoung."

  Aku mengangguk lagi mengiyakan, sambil melirik ke arah bungkusan dari Kak Doyoung. Aku memang tidak seharusnya membohongi orang sebaik Kak Doyoung.

🍚🍚🍚🍚🍚

  "Jadi lebih tepatnya di mana lo nitipin sepeda lo?" Woozi bertanya dengan tangan terlipat di depan dada, terlihat tidak sabar.

  "Waktu itu di deket sini kok," gumamku, tak begitu yakin.

  Kami sudah berjalan melalui kompleks perumahan yang merupakan jalan pintas menuju sekolah. Mobil biru Bang Jongin ditinggal di depan perumahan. Sementara, Woozi memutuskan untuk berjalan bersamaku dengan mengenakan alat menyamarnya. Kecelakaan yang menimpaku waktu itu terjadi di kompleks ini. Namun entah mengapa aku tidak bisa menemukan rumah berpagar oranye tempat Kak Doyoung menitipkan sepedaku.

I'm Not CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang