11 ~ Pasang Badan

323 80 28
                                    

Jagalah dia sang mutiara kehidupan dengan sepenuh jiwa.
Buah hati itu seperti pasir, terlalu erat digenggam dia akan lolos
Terlalu renggang dilepas dia akan terhempas bersama angin.
Mendidik tidak perlu dengan teriakan, kekerasan, hingga kebencian.
Sebab kaca yang sudah retak akan sulit kembali seperti semula

~L.K~

🍃🍃🍃

Jodi membuka matanya perlahan saat menyadari tidak ada rasa sakit yang menghampirinya. Dihadapannya, seorang laki-laki dengan kemeja putih berdiri dan berpegang erat pada kedua bahunya.

Anak itu mendengar suara buku tangan ayahnya menghantam sesuatu, tidak terlalu keras, tetapi cukup jelas di telinga Jodi. Dia berpikir rahang atau pelipisnya yang terpukul dan dari sakitnya hingga tidak terasa apa-apa. Pemikirannya salah sebab tubuh sang wali kelas sudah tegak membelakangi ayahnya.

Dia yang berbuat salah, tetapi sang guru yang mendapat hadiah. Jodi gelagapan saat wajah Nardo meringis di hadapannya. Bahkan sang guru menggigit bibir sembari meredam denyutan di belakang kepalanya

"Kamu nggak apa-apa? Aman?" tanya Nardo pada Jodi yang tampak kaget dengan kejadian tiba-tiba barusan. Dia hanya mampu mengangguk menanggapi pertanyaan gurunya.

"Bapak apa-apaan? Kenapa main pukul?" teriak Bu Nida selaku Waka. Kesiswaan.

"Tahan emosinya, Pak." Salah satu wali murid memegangi tangan ayah Jodi yang masih terkepal di sisi tubuhnya.

"Jodi, sini kamu! Sudah merasa jadi jagoan, ha? Berkelahi saja kerjaannya!"

Ayah Jodi maju dan hendak meraih lengan sang anak. Belum juga teraih, Nardo berbalik sembari memegang pergelangan tangan Jodi. Nardo memilih mundur beberapa langkah hingga mau tak mau Jodi yang ada di belakangnya juga ikut mundur.

"Bapak yang tenang," ujar Radit.

Ada tangan yang bergetar dalam genggamannya. Wajah yang tertunduk dengan setetes bening yang hampir jatuh di sudut mata Jodi mengingatkan kejadian beberapa waktu lalu, saat seorang Muhammad Rashfaby mendapat gertakan dari sang ayah.

Dengung di telinga Nardo semakin terasa. Denyutan di kepalanya semakin terasa menyakitkan. Lelaki itu meringis sambil mengusap bagian belakang kepalanya. Dia merasakan ada benjolan yang lumayan besar di sana.

"Pak Nardo!" seru Jodi sembari menahan tubuh Nardo yang mulai kehilangan keseimbangannya.

Radit mendekat dan menuntun Nardo untuk duduk. "Kalau Bapak masih ingin berbuat gaduh dan menggunakan kekerasan, kami siap melaporkan ini semua sebagai tindak penganiayaan."

"Meski Jodi anak Bapak, tapi ini masih di lingkungan sekolah. Kami memiliki kewajiban untuk melindungi pendidi dan peserta didik," ancam Radit dengan nada sinis.

"Ma-maaf, Pak, saya tidak bermaksud memukul Bapak," ujar ayah Jodi terbata setelah sadar dari kekhilafannya.

Pak Radit meminta Waka. Kesiswaan membawa anak-anak yang bermasalah supaya kembali ke kelas. Guru BK itu berjaga-jaga agar wali murid tidak kembali tersulut amarahnya dengan kehadiran putranya.

"Pak, saya benar-benar minta maaf. Seharusnya Bapak tidak perlu melindungi putra saya. Dia sudah biasa menghadapinya. Jodi anak yang bebal dan susah untuk dinasehati," ujar ayah Jodi penuh penyesalan.

"Tidak semua persoalan bisa diselesaikan dengan kekerasan, Pak. Bapak seharusnya bisa menahan diri, Jodi anak yang baik dan pandai hanya saja dia berbuat nakal untuk menarik perhatian para guru." Radit menjawab mewakili Nardo yang masih berusaha menormalkan telinganya yang berdengung.

🍃🍃🍃

Nuansa putih mendominasi ruangan itu. Beberapa brankar disediakan untuk mereka yang sedang sakit. Beberapa pajangan tentang kesehatan menghias dinding di sana. Nardo memilih brankar paling pojok supaya tidak menarik perhatian beberapa siswa yang berlalu-lalang di depan UKS SMK Bina Bangsa.

"Makanya nggak usah sok jagoan!" ujar Radit sambil memberikan kantong berisi es batu untuk mengompres benjol di kepalanya.

"Iya, iya ..., coba tadi nggak dihadang paling-paling besok jadi headline news di sosmed. Sekolah juga yang kena!" Nardo mulai mengompres sambil duduk bersila di atas brankar.

"Sesekali jadi terkenal, boleh juga 'kan?"

"Saya kasian sama Jodi. Saya juga nggak mau ayahnya menyesal di kemudian hari karena kejadian hari ini," ujar Nardo sambil sesekali meringis menikmati sensasi dingin dan kaku di kulit kepalanya.

Mendengar kata sesal membuat Radit terdiam. Lelaki itu tersenyum lalu menunduk, manik matanya tidak bisa diajak kompromi. Tiba-tiba saja terjdi kebocoran di pelupuknya. Tetes bening meluncur begitu saja tanpa bisa dikendalikan.

Lelaki di hadapan Nardo itu memilih untuk pergi untuk menyembunyikan sesak yang dirasakannya. Mengabaikan teriakan Nardo yang menanyakan ke mana dia akan pergi.

Jika menganggap lelaki yang mudah menangis itu cengeng, setidaknya pahamilah kondisi hatinya. Lelaki tidak akan mudah menangis, hal yang membuatnya menangis adalah penyesalan dan rasa kehilangan yang mendalam

🍃🍃🍃

Nardo keluar dari ruang UKS dan disambut oleh Pak Jaya yang heboh menanyakan keadaannya. Beberap guru yang lain juga ikut bertanya bagaimana awal mula kejadian di ruang konseling.

Belum juga Nardo bercerita, Bu Dara datang membawa berita bahwa ayah Jodi kembali lagi bersama pengacaranya.

"Cih, mau naikin pamor sampai-sampai berlagak sok pahlawan. Kalau urusan ini jadi panjang dan berdampak pada SMK Bina Bangsa maka Pak Nardo yang harus bertanggung jawab." Mulut lemes Bu Dara mulai mengoceh.

"Untuk apa ayah Jodi kembali lagi? Bukannya permasalahan anaknya sudah selesai?" tanya Pak Jaya.

"Iya, apa skorsing selama tiga hari belum cukup?" celetuk salah seorang guru produktif.

"Urusannya bukan soal Jodi, tapi soal Pak Nardo yang kena bogem," jawab Bu Dara ketus.

"Pak Nardo! Pak Tjah nungguin di ruang kepala sekolah."

Nardo beranjak tanpa memedulikan ocehan-ocehan lain yang saling bersahutan. Sesampainya di ruang kepala sekolah, lagi-lagi dia melihat wajah yang sama. Pak Tjah, Radit, ayah Jodi, tetapi kali ini ditemani oleh satu orang asing yang tidak Nardo kenal.

Penampilan orang itu sangat rapi, kemeja berwarna biru tua dengan dari motif bintik berwarna biru langit, dibalut dengan jas hitam berwarna biru navy. Nardo mengangguk dan memilih duduk di sebelah Radit.

"Pak Nardo, apakah anda bersedia untuk tidak mengajukan tuntutan soal pemukulan tadi?"

"Itu sebuah ketidaksengajaan, saya tidak akan mempermasalahkan itu, Pak!" ujar Nardo menjawab pertanyaan Pak Tjah.

"Kalau begitu silakan anda tanda tangan di sini ...," ujar si orang asing sambil menyodorkan selembar kertas bermaterai.

Nardo membacanya dengan saksama, isinya tidak jauh dari pertanyaan Pak Tjah. Pulpen sudah tergenggam di tangan Nardo, tetapi diletakkannya kembali sambil menatap ayah Jodi.

"Saya bersedia untuk tidak mempermasalahkan hal tadi, tapi jika saya diminta untuk tanda tangan maka saya juga akan meminta hal yang sama."

"Meminta apa? Katakan saja, saya pasti akan mengabulkannya," ujar ayah Jodi dengan wajah tersenyum.

"Saya meminta ayah Jodi untuk membuat pernyataan hitam di atas putih plus tanda tangan bermaterai yang isinya menyatakan bahwa beliau tidak akan lagi menggunakan kekerasan dalam bentuk apa pun pada Jodi."



🍃🍃🍃

Selamat malam ....
Siapa yang menunggu Nardo datang?
Apakah laki-laki dilarang menangi?
Kalau iya, berikan alasannya.
Kalau menurutu Na, sih, lelaki boleh menangis.
Kalau nggak boleh, lalu apa fungsi air mata kalau tidak digunakan?

ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 4
#DAY11
Bondowoso, 08 Oktober 2020

Rush Hour ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang