12 ~ Lumayan

323 76 23
                                    

Setiap pekerjaan pasti memiliki resikonya masing-masing.
Terpojok, terabaikan, ibaratnya seperti sebuah patok pembatas!
Dilirik hanya saat terjadi sengketa.

~Nardo Shidqiandra~

🍃🍃🍃

Negosiasi bersama ayah Jodi berjalan dengan baik. Beliau menyanggupi untuk tidak lagi bertindak kasar pada putra semata wayangnya. Semula baik Pak Tjah maupun Radit mempertanyakan alasan dibalik permintaan itu.

Nardo memberikan alasannya setelah ayah Jodi dan pengacaranya meninggalkan kantor kepala sekolah. Ternyata sejak awal dirinya masuk kelas X TSM 1, perhatiannya sudah tertuju pada Jodi.

Seorang siswa yang bisa dikatakan cerdas, tapi cenderung tidak taat pada aturan. Suka membolos, terlibat tawuran, dan juga menjadi provokator diantara teman-teman sekelasnya. Tentunya banyak juga siswa yang berkarakter seperti Jodi.

Ada hal yang membuat Nardo mengernyitkan kening. Meski di kelas terkenal urakan dan tidak bisa menjaga mulutnya untuk berkomentar, tetapi ada kalanya anak itu justru bersikap sopan. Membantu guru yang kesulitan membawa barang-barang.

"Saya bahkan pernah melihat Jodi itu membantu Pak Jaya saat teman-temannya sulit diatur. Caranya memang kasar, tapi kepeduliannya cukup besar," ujar Nardo.

"Saat konseling dia juga menunjukkan sisi lain dari dirinya. Sisi penurut saat saya memberinya nasehat tiba-tiba saja muncul," ujar sang guru BK.

"Anak-anak memang begitu, mereka ada cara tersendiri untuk menyita perhatian orang tuanya. Namun, sedikit sekali orang tua yang sadar diri, mereka cenderung mengedepankan emosi daripada hati," timpal Pak Tjah.

Nardo menyandarkan tubuhnya dan mencoba santai dengan kepalanya yang masih berdenyut. "Jika saja ayah Jodi tahu bagaimana gemetarnya tubuh itu, ketakutan dan juga kesedihan yang Jodi rasakan, saya rasa dia akan berhenti untuk bertindak kasar."

"Saya mengenal orang tua yang melakukan tindak kekerasan, bukan secara fisik tapi kekerasan secara verbal. Bukan yang berbicara kasar dan keras, hanya sekadar berbicara ketus, pelan, tapi menusuk." Radit bertutur dengan pelan.

"Aby, adik angkat saya meninggal karena kekerasan fisik yang dilakukan ayahnya setahun silam. Mereka tidak menyadari kesakitan Aby, saat mereka sadar, Aby sudah ada diujung maut."

"Semoga orang tua seperti cerita Pak Radit segera diberi kesadaran, dan tidak ada lagi Aby lainnya seperti kisah yang disampaikan Mas Nardo," ujar Pak Tjah.

"Amin ...." ujar mereka serempak.

🍃🍃🍃

Nardo terbangun  saat merasakan perutnya bergejolak. Lelaki itu bergegas menuju kamar mandi. Denyutan di kepala dan dengungan di telinganya semakin terasa menyakitkan.

Sakit kepalanya ini sungguh menyiksa. Dia berjalan dengan pelan mendekati nakas,  membuka laci dan berharap menemukan obat yang bisa meredakan nyeri. Obat pereda nyeri tidak ada, yang ada justru obat mag.

Mungkin peribahasa "Tak ada rotan akar pun jadi" yang Nardo gunakan saat ini. Tidak ada obat pereda nyeri, obat mag pun tidak masalah. Dia berpikiri yang terpenting dirinya bisa tidur nyenyak setelah pergulatan sakit yang tak kunjung reda.

Bulir-bulir keringat menetes dari keningnya. Diambilnya sebuah bantal lantas dia gunakan untuk menutup kepalanya. Berharap itu bisa meredam dentuman yang berasal dari kepalanya.

"Akh ...." rintihnya di tengah malam yang sunyi.

Rintihan diselingi istigfar masih memenuhi kamar indekos Nardo. Hingga lama-kelamaan, suaranya menghilang bersama kesadaran yang juga turut terenggut.

Rush Hour ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang