13 ~ Kembali

293 74 20
                                    

Perlahan, tapi pasti!
Sedikit demi sedikit mulai terkikis.
Tinggal menunggu waktu lalu habis tak bersisa.
Sakit? Menyesal? Terluka? Tentu saja tidak!
Hanya sedikit hampa.
Bisa mengatasi? Tentunya!
Tenanglah, diri ini sudah terlatih untuk baik-baik saja.

~L.K~

🍃🍃🍃

Akan ada masanya yang peduli menjadi tidak peduli saat rasa itu ternyata diabaikan. Ada juga masanya yang awalnya abai menjadi lebih peduli karena maksud tertentu. Ada pula yang benar-benar peduli meski tanpa ada alasan.

Nardo melihat ketulusan yang sebenarnya, ketulusan yang benar-benar tanpa alasan dari seorang Radit. Katanya segala perbuatan yang kita terima itu adalah buah dari apa yang kita kerjakan. Intinya selalu ada timbal balik terhadap segala perbuatan kita.

Sehari sudah cukup untuk Nardo beristirahat di rumah. Sepagi ini lelaki itu sudah berada di ruang guru dan merapikan beberapa buku dan barang yang berserak. Ruangan itu masih sepi, di luar sudah tampak beberapa siswa berlalu-lalang.

Semakin siang, kursi-kursi kosong itu mulai terisi. Nardo masih tetap fokus mengisi jurnal belajar yang dia lewatkan kemarin.

"Sudah sehat, Dek?" tanya Pak Jaya tiba-tiba.

"Alhamdulillah, sudah, Pak, terima kasih."

"Beneran dibawa ke rumah sakit sama Pak Radit? Hasilnya bagaimana? Soalnya cedera kepala itu rawan."

"Hasilnya baik-baik saja, Pak. Kata dokter tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Syukurlah kalau begitu. Jangan mudah menggunakan diri untuk menjadi tameng orang lain, Dek. Salah-salah kita yang celaka. Meski begitu tindakanmu kemarin itu termasuk keren."

Nardo hanya tersenyum dan kembali berkutat pada buku pelajaran. Pikirannya sudah terfokus pada rencana kegiatan belajar mengajar. Apa yang akan disampaikan dan apa yang akan di ucapkan sudah terpikirkan sejak pagi.

🍃🍃🍃

"Bapak! Ada yang berkelahi di kelas X TSM 1." Salah seorang siswi datang dengan napas tersengalnya.

"Pak Nardo, anaknya diurus dulu," ujar Bu Hasnah.

Nardo hanya mengangguk lalu pergi bersama siswi tadi.

Kebiasaan yang ada di SMK Bina Bangsa, siapa yang menjadi wali kelas, maka otomatis anak-anak sudah seperti anak kandung. Padahal jika dinalar semua siswa berstatus sama. Sama-sama peserta didik. Lantas mengapa jika melakukan pelanggaran hanya wali kelas yang dianggap orang tuanya, tetapi saat mendapat predikat baik semua guru mengakuinya sebagai anak.

Suasana kelas ramai dengan sorakan-sorakan mendukung salah satu teman yang bergumul di lantai. Salah satu dari sepasang anak kembar di kelasnya tampak babak belur di tangan Rasya—si pembuat onar—di kelas X TSM 1. Sementara itu, satu siswa berdiri dan memegangi tangannya yang tak henti meneteskan darah.

"Bawa Rey ke UKS. Panggilkan guru kalau petugas PMR tidak sanggup menghadapi lukanya," perintah Nardo pada sang ketua kelas.

Kedua siswa yang bergumul tadi tidak sadar bahwa sang wali kelas sudah berdiri sambil bersedekap di samping mereka. Mereka sadar saat kaki jenjang itu menghentak lantai beberapa kali.

"Sudah selesai? Atau kalau mau lanjut silakan di tengah lapangan sana supaya jelas siapa yang lebih banyak mendapat dukungan." Suara Nardo membuat keduanya membisu.

"Dia yang mulai, Pak!" ujar Rasya sambil menunjuk wajah Ren.

"Kamu yang mulai! Coba saja tanya sama teman-teman." Ren tidak terima atas tuduhan Rasya.

Rush Hour ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang