Keesokan paginya mereka sarapan bersama. Sekali lagi, Mean terhenyak oleh kecantikan Plan Rathavit. Ia harus akui perempuan yang usianya sembilan tahun lebih tua daripada dirinya itu memang terlihat sangat matang dan menantang.
Mean berbicara tentang rencana dirinya hari ini dan ini penting untuk Plan sebab ia harus menyiapkan Mean makan malam.
"Kau sewa mobil selama di sini?" tanya Plan lagi saat ia melihat sebuah mobil mewah terparkir di luar. Mean menganggukkan kepalanya dan melihat ke arah luar sebentar. Plan juga ikut menganggukkan kepalanya dan tersenyum.
Perbincangan terhenti saat Mean harus bergegas ke sebuah tempat. Sudah ada jadwalnya untuk semuanya dan Mean tak mau terlambat sebab itu adalah hari pertama untuknya.
***
"Jadi, sekarang kau punya bayi yang harus diurus?" Sammy, teman dekat Plan, bercanda saat mereka tengah bekerja mengerjakan sebuah kue yang mereka hias untuk sebuah acara."Bayi yang memberiku kesempatan untuk mengambil kembali rumahku gara-gara si Brengsek Joss," ujar Plan. Ia jelas menekankan kata brengsek dna memberi wajah yang pahit saat nama Joss disebut. Sammy tergelak dan Plan hanya mengembuskan napasnya.
"Joss dan Neena benar-benar keterlaluan!" Nada Sammy berubah kesal dan ia tampak menahan kemarahan.
"Lupakan mereka, Sam! Orang bodoh seperti mereka tak pantas mendapat dan menyita perhatian dan pikiran kita. Jangan pikirkan sampah seperti mereka," sahut Plan juga dengan nada kesal.
"Euh, kau benar. Memang sampah hanya cocok dengan sampah," sahut Sammy lagi.
"Tenanglah, Plan! Kau perempuan yang sangat baik. Kau akan mendapatkan seseorang yang baik dan setia dan cinta mati kepadamu," sambung Sammy sambil menepuk bahu Plan pelan.
"Amiiiiin," sahut Plan tapi dengan nada lemas.
"Kenapa aminnya lemas sekali?" Sammy tertawa lebar.
"Aku tak berminat lagi untuk menjalin hubungan, Sam. Kurasa sudah cukup," sahut Plan lagi.
Ia berdiri dan memegang pinggangnya sebab ia merasakan agak pegal setelah cukup lumayan mencondongkan tubuhnya dan berfokus pada hiasan kuenya.
Mereka bekerja di sebuah toko pastri yang sangat terkenal di kota itu. Itu toko yang sangat besar dan tua dan sudah memiliki banyak pelanggan bukan hanya karena kualitas makanannya yang tinggi, melainkan juga karena reputasinya yang baik.
Pelayan dan pelayanannnya juga sangat baik. Tak heran jika toko yang memiliki banyak cabang ini memiliki tempat tersendiri di hati para pelanggannya.
"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan mahasiswa Inggris itu? Siapa namanya, aku lupa," ujar Sammy sambil menyesap kopi yang baru saja mereka buat.
"Mean, Mean Phiravich. Ada apa dengan dia?" Plan menatap Sammy heran. Ia juga sama memegang cangkir kopi di tangan kanannya, siap minum.
"Dia oke?" Sammy menatap Plan dengan cara yang menggoda.
"Aku tak mengerti arah bicaramu, Sam! Sungguh!" Plan menatap Sammy sambil menyesap kopinya.
"Dia sama sekali tak menarik perhatianmu!" Sammy berbicara dengan nada menggoda.
"Astagaaa! Dia anak kecil. Seperti adikku, usianya sebaya dengan Perth! Aduuuh, apa yang kau pikirkan di otakmu, Sam. Kau gila!" Plan mengerling.
"O, Plan! Ayolah! Anak kecil itu sudah bisa bercocok tanam!" goda Sammy lagi sambil tersenyum.
"Maksudmu?" Plan mengernyitkan alisnya. Ia sungguh tak paham.
"Iya, maksudku, mantap-mantap! Kau masih tidak paham! Aduuuh Plan, masa sih tak paham? Itu... Itu loh," ujar Sammy lagi memainkan alisnya sambil membuat suara lenguhan dan membuat gerakan bercinta dengan tangannya.
"Astagaaa! Sam! Itu menjijikkan," sahut Plan dengan wajah memerah dan dengan cepat bangkit dari duduknya meninggalkan Sammy sambil menggelengkan kepalanya.
Plan termasuk yang tertutup dalam membicarakan hal seperti itu. Ia bahkan tak pernah bercerita kepada siapapun bagaimana ia dan Joss memulai hubungan intim mereka. Ia tak peduli lagi dan tak mau memikirkannya lagi. Sekarang, ia hanya ingin melupakannya dan segera bercerai dengannya.
***
Plan pulang ke rumahnya. Ia menyimpan kunci dan tas pada tempatnya dan kemudian pergi ke kamar berganti baju. Setelah itu, ia keluar kamar dan kemudian bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Ia tahu Mean akan pulang satu jam sebelum makan malam dan ia masih punya waktu dua jam sebelum Mean datang.Ia tengah mengambil sebuah wadah dengan menaiki kursi dari lemari yang menggantung di dapurnya. Sayangnya, ia gagal mempertahankan keseimbangannya sehingga ia nyaris terjatuh jika saja Mean tak menangkapnya seolah ia adalah pengantin perempuan dalam gendongan.
Dunia berhenti sejenak dan waktu membeku. Mereka bertatapan beberapa saat, tetapi tak lama kemudian, keduanya sama-sama menyadari keadaan dan kemudian dengan cepat Mean menurunkan Plan dan mereka tersenyum canggung satu sama lain.
"Terima kasih," sahut Plan sambil merapikan sekaligus menenangkan dirinya.
"Iya, tentu saja," sahut Mean juga terlihat canggung. Ia masih terpesona dengan bau tubuh Plan yang begitu nyaman di hidungnya. Jelas itu bukan dari sebuah parfum, melainkan asli dari tubuh Plan sendiri.
"Kau mau mengambil apa?" Mean bertanya setelah keduanya sama-sama tenang.
"Ah, ini. Sudah kudapatkan," ujar Plan lagi sambil menunjukkan wadah yang ia genggam pada tangan kanannya.
"Aah, begitu," sahut Mean sambil tersenyum. Ia menggaruk kepalanya tapi tak gatal. Sunggung aura kecanggungan menyelimuti mereka berdua.
"Kau pulang sangat awal," ujar Plan saat menyadari bahwa Mean pulang sebelum jam yang ia bilang tadi pagi.
"Uhm, semuanya selesai cepat hari ini," sahut Mean.
"O, begitu. Kalau begitu, kau mau mandi dulu atau istirahat dulu?" tanya Plan lagi.
"Sebenarnya, aku ingin kopi," sahut Mean sambil menggaruk kepalanya lagi.
"O, ya, tentu saja. Akam kubuatkan. Duduklah dulu," sahut Plan. Ia bergegas ke dekat mesin pembuat kopi dan menyalahkannya.
Mean menganggukkan kepalanya. Tak lama kopi yang ia minta datang kepadanya dan ia menikmatinya sambil melihat-lihat Hpnya.
"O, iya, aku hampir lupa," ujar Mean tak berapa lama setelah ia menikmati kopinya.
Plan yang tengah menyiapkan makan malam menoleh dan menatap Mean dengan heran.
"Ada paket di luar. Aku sudah membawanya sampai ke ruang tengah. Aku simpan di bawah tangga," sahut Mean lagi sambil menunjuk ke bawah tangga.
Plan melirik sejenak ke arah tangga dan ia melihat sesuatu yang terbungkus dengan sampul cokelat. Ukuran barang yang besar itu mirip lukisan.
Sejenak ia diam tapi tak lama kemudian ia membalikkan tubuhnya lagi dan kemudian kembali pada pekerjaannya.
"Kau tak ingin memeriksanya sekarang?" tanya Mean menatap punggung Plan.
"Nanti saja, setelah selesai dengan pekerjaanku," ujar Plan yang sudah bisa memprediksi isinya. Mean bahkan tak menyadari perubahan ekspresi di wajah Plan saat itu.
"O, oke," sahut Mean santai dan ia kembali pada Hpnya.
Bersambung