Mean berpikir keras tentang hal yang dikatakan Plan. Ia tahu Plan selalu penuh teka-teki dan kadang-kadang langkahnya tak terbaca olehnya.
Namun, ia tak mau lagi kehilangan Plan setelah sebelumnya sang kekasih itu tak mau berada dalam pelukannya karena ia terlalu banyak mempertimbangkan keadaan.
Ia begitu yakin bahwa Plan akan meninggalkannya, meski ia belum menemukan alasannya sampai akhirnya ia menemukan sebuah buku di bawah tumpukan pakaian Plan.
Itu beberapa hari sebelum wisuda. Mean mengambilnya dan membuka halaman demi halaman dan perasaannya campur aduk.
Sekarang ia tahu alasan Plan akan meninggalkan dirinya. Ia paham akan posisi Plan dan ia paham akan pemikiran orang tuanya juga. Ia jelas tak bisa berpihak. Namun, langkahnya sudah bulat, bahwa ia akan menolak perjodohan dengan siapapun perempuannya, dan akan mempertahankan Plan dan anaknya.
Ia menyelidiki semuanya sampai tuntas hanya dalam waktu dua hari. Hanya itu waktu yang tersisa sebelum wisuda dan artinya sebelum Plan meninggalkan dirinya.
Ia menunggu di Bandara. Ia tahu Plan akan pergi saat ia makan malam dengan klien orang tuanya. Setengah jam kemudian, ia bisa melihat Plan mengeret koper dan berjalan menuju check point. Mean tersenyum. Plan tengah berada di dalam antrean saat tetiba dua petugas keamanan membawanya dan ia sangat kaget.
Sesampainya di ruangan, Mean sudah duduk menunggunya di sana dengan tenang. Plan membelalakkan matanya. Bagaimana bisa ia ada di sana dan mengetahui semuanya.
"Kau kalah cepat dariku," ujar Mean sambil tersenyum.
"Ayo pulang!" Mean menarik lengan Plan dan membawa kopornya.
"Mean, tunggu sebentar! Bagaimana kau tahu? Aku sudah berjanji. Tolong, kita bicara dulu, na!" sahut Plan lagi.
Mean menoleh dan mengembuskan napas. Ia menatap Plan dan kemudian mendekatinya lalu mengelus kepalanya dan memeluknya.
"Kenapa selalu mengambil keputusan sendiri? Tak percayakah kau kepadaku bahwa cintaku sangatlah besar kepadamu. Aku tak akan pernah sekalipun mengabaikanmu. Kau harus paham bahwa kau adalah sumber kebahagiaan diriku. Jika kau hilang, maka aku pun hilang. Aku tak peduli kita tinggal di mana saja, yang paling penting kita tinggal satu atap. Bersamamu, aku bahagia. Kau harus paham itu," terang Mean panjang lebar.
"Ayo pulang," sambungnya.
"Tapi," sahut Plan dengan ragu.
"Jangan katakan apa-apa lagi. Kau akan tahu sesampainya di rumah," sahut Mean.
Plan tak merespons. Ia mengikuti keinginan Mean. Ia ikut pulang bersamanya, meski ia tahu ia melanggar janji kepada orang tua Plan.
Setibanya di rumah, orang tua Mean menyambut mereka dan sekali lagi mereka terlibat dalam pembicaraan serius dan kali ini dengan Mean. Semuanya sudah jelas sekarang. Orang tuanya pun tak bisa berkata apa-apa, kecuali menerima. Meskipun demikian, Plan masih merasa jauh di dalam hatinya, bahwa ia belum bisa diterima sepenuhnya oleh orang tua Mean.
Tidak apa-apa. Plan hanya bisa membuktikan kepada meeka bahwa ia akan selalu mendampingi Mean apapun yang terjadi. Ia sendiri juga sudah berjanji kepada Mean bahwa ia tak akan lagi mengambil keputusan sendiri, meskipun yang ia lakukan adalah untuk kebaikan Mean sendiri.
Semuanya berjalan baik sekarang. Plan diterima di keluarga Mean dan mereka tinggal di apartemen mereka sendiri. Mean memutuskan untuk sekolah lagi sambil mulai melakukan magang di perusahaan ayahnya.
Waktu terus berjalan dan kandungan Plan semakin besar. Sudah hampir sembilan bulan sekarang. Beberapa minggu lagi, ia akan memberikan cucu kepada keluarga Phiravich.