Mereka berjalan di jalan setapak menuju danau dan duduk bersebelahan di ujungnya. Sejenak mereka diam merasakan udara malam dan refleksi bulan di tengah danau.
"Kenapa kau memintaku jadi kekasihmu, jelas-jelas kau sudah punya pacar," tanya Plan sambil menatap Mean.
Mean menundukkan kepalanya. Ia tahu dan sadar akan hal itu, tapi hatinya menginginkan Plan.
"Kalau aku menerimamu, aku tak ada bedanya dengan Neena," ujar Plan. Dia mengelus lengannya dan kemudian mengembuskan napasnya.
"Siapa Neena?" tanya Mean, melirik ke arah Plan sambil mengernyitkan alisnya.
"Dulu dia sahabatku sebelum ia menjadi kekasih gelap suamiku. Dan sekarang, kau berharap aku seperti dia, mengambilmu dari pacarmu," ujar Plan menatap Mean lagi. Mean terkejut. Plan tersenyum dan ia berkisah tentang hidupnya dengan Neena dan Joss secara singkat dan sekarang Mean tahu bahwa Plan tak akan menerimanya.
"Kau masih muda. Dan juga di Thailand hanya sementara. Pasti pacarmu bilang jangan sampai jatuh cinta kepada wanita Thai, na!" ujar Plan lagi sambil menepuk bahunya.
"Kenyataannya aku melakukannya," sahut Mean sambil menatap Plan.
"Wah, kau salah paham, kupikir. Tadi pagi kita hanya terbawa suasana," sahut Plan. Ia menggusak rambut Mean pelan.
"Kau salah," sahut Mean sambil mengambil tangan Plan dan memegangnya.
"Aku menyukaimu sejak kita bertemu di bandara. Memang waktu itu belum jelas, tapi sekarang semuanya sangat jelas untukku," sahut Mean.
"Mean, dengar! Usia kita berbeda sangat jauh. Mungkin orang akan berbicara tentang kita jika kita meneruskan ini. Berapa usiamu dan pacarmu?" tanya Plan.
"Uhm, 23," sahut Mean pendek.
"Nah, kau kurang lebih sama dengan Perth," ujar Plan.
"Kau lebih pantas menjadi adikku daripada kekasihku," godanya.
"Aku tak mau. Aku sudah bilang au menyukaimu," sahut Mean dengan tegas.
"Aku akan putus dengan pacarku. Kalau aku tak punya kekasih, kau akan menerimaku?" Mean merajuk. Wajahnya terlihat sangat sedih. Ia sadar ia baru saja ditolak meski tak secara langsung.
"Meaaan, jangan begini. Kalau kau memutuskan dia, kemudian kau selesai di sini dan kembali ke Inggris, lantas bagaimana dengan kita? Apakah akan selesai juga? LDR? Aku tak suka LDR dan tak mau juga. Aku tak akan tahan tak melihat kekasihku langsung. Aku ini sudah tua, berbeda denganmu," ujar Plan.
"Setelah itu kau akan kuliah, melanjutkan lagi kuliah S2 lalu S3, kemudian bekerja dengan ayahmu atau sendiri. Lalu aku bagaimana? Menunggumu selamanya? Berat Mean. Lagipula kurasa orang tuamu tak akan setuju jika kita bersama. Kau pasti harus bersanding dengan seseorang yang lebih pantas untukmu, bukan?" Plan menatap Mean yang ia tahu dari tatapan itu Mean mengakui semua hal yang dikatakan Plan.
"Terima kasih karena menyukaiku. Aku sangat tersanjung. Tapi, kurasa menjalin hubungan di antara kita sangatlah mustahil," sahut Plan lagi. Ia mengelus wajah Mean.
"Maafkan aku," sahut Plan lagi dengan tatapan yang sedih. Ia beranjak dari duduknya dan kemudian berjalan menjauhi Mean ke dalam rumah.
Mean diam, tetapi, tak lama kemudian, ia juga menyusul Plan yang tengah berjalan menuju ke dalam rumah.
"Aku mencintaimu," ujar Mean sambil memeluk Plan dari belakang dengan sangat erat. Wajahnya terlihat sangat sedih.
"Meaaan, jangan begini," ujar Plan lagi. Ia membiarkan Mean memeluknya tapi ia tak membalas pelukan itu.
Plan mengembuskan napasnya. Tampaknya Mean tak akan melepaskan pelukannya. Jadi, Plan melepaskan tangan Mean dari dadanya dan kemudian meninggalkannya dalam keadan sedih.
Setelah penolakan itu, Mean jarang berinteraksi dengan Plan. Ia sering menghindari Plan dan jika bertemu tak sengaja, ia akan memasang wajah marah dan tak akana bicara. Mean persis seperti anak kecil yang sedang marah kepada ibunya karena tak dibelikan mainan kesukaannya.
Mean hampir tak pernah sarapan pagi dan makan malam di rumah. Yang lebih parah, ia sering pulang dalam keadaan mabuk. Plan menjadi khawatir karenanya. Bagaimanapun Mean berada di bawah tanggung jawabnya.
Pada suatu malam, ia mendapat telepon dari sebuah bar. Mean terlibat perkelahian dengan pelanggan di sana. Plan bergegas ke sana dan membawa Mean pulang setelah ia menyelesaikan urusan dan meminta maaf.
Hening menjadi pilihan mereka saat perjalanan menuju rumah dan setibanya di rumah, Mean langsung menaiki tangga dan memasuki kamarnya tanpa mengucapkan apa-apa.
Plan sangat paham tentang hal ini. Mungkin inilah yang maksudkan Sammy saat ia pernah bercerita rasanya berkencan dengan orang yang lebih muda. Yang tua harus benar-benar sabar.
Plan tersenyum dalam hati. Ia diam sejenak dan kemudian mengembuskan napasnya seolah ia sudah mengambil sebuah keputusan. Ia membawa kotak obat dan kemudian berjalan menuju kamar Mean. Plan mengetuk pintu kamar perlahan.
"Mean, buka pintunya," sahut Plan dengan lembut.
Mean tak merespons. Beberapa kali Plan melakukan hal yang sama dan mendapat jawaban yang sama pula. Tak ada respons.
"Ayo kita bicara, na!" ujar Plan lagi dengan lembut. Ia masih berdiri di depan kamar Mean dengan sabar dan sambil tersenyum.
Mean masih diam. Tak ada langkah kaki atau gerak suara dari dalam ruangan.
"Mean, maafkan aku!" sahut Plan lagi. Dan hasilnya sama seperti sebelumnya. Plan diam. Untuk beberapa waktu hanya ada keheningan di antara merek berdua sampai akhirnya Plan yang mengalah dan bersuara lagi.
"Aku juga menyukaimu dan aku juga merindukanmu. Tapi, aku tak mau merusak masa depanmu. Jika kau bersamaku, aku tak mau hubunganmu dengan orang tuamu rusak. Kalau kau mau bersamaku hanya selama kau di sini, aku akan menerimamu. Ketika kau pulang, kau harus melanjutkan hidupmu dan berbahagia dengan siapapun yang kau pilih." Plan menjelaskan panjang lebar.
Kali ini, Plan mendengar langkah kaki dari dalam. Plan tersenyum. Mean membuka pintu. Air matanya sudah basah mengalir di pipinya dan mengenai bagian lukanya.
"O, Meaaan!" lirih Plan.
Mean menghambur ke pelukan Plan dan mereka berpelukan lama.
"Kau kekasihku sekarang?" Mean menegaskan.
"Uhm," gumam Plan.
Mereka melepaskan pelukan dan berciuman. Mean membawa Plan ke dalam kamarnya dan tak perlu waktu yang lama bagi mereka untuk kemudian saling mendesahkan nama dan berlomba melenguhkan kenikmatan karena kegiatan mereka.
"Ngghhh, Meaaan, sudah," desah Plan saat tangan Mean meraba-raba lagi nona Plan dan mulai mengelusnya pelan.
"Aku masih mau," lirih Mean.
"Istirahat dulu sebentar. Aku ingin mengobati lukamu," ujar Plan sambil mengamati beberapa goresan di dekat bibir dan mata Mean.
"Ini tidak apa-apa," sahut Mean.
"Ini apa-apa," ujarnya lagi sambil membimbing tangan Plan ke naganya.
Plan hanya tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya. Perlahan ia mencium kening Mean dan Mean membalasnya lalu mereka bergamitan dan kemudian melakukannya lagi.
"Plan, I love you," desah Mean sambil terus memaju mundurkan naganya di dalam nona Plan.
"Meaan, nnnnngh, uuuungh," desah Plan dan mereka berciuman.
Mereka masih asyik dengan kegiatannya dan tak lama keduanya mencapai puncak kenikmatan. Mereka mengatur napas sengal mereka sambil berpelukan dan memejamkan mata.
Bersambung
