16. The Catch

253 78 17
                                    

"Eh, anjir! Masa pulpen yang gue beli kemarin udah hilang aja."

"Masa, Ca? Yang kita samaan, kan? Di kopsis?"

Nuca mengangguk mendengar pertanyaan Fajri. Billy dan Azka yang sedang menikmati bakso masing-masing menyimak. Jam istirahat pertama ini keempatnya memilih untuk satu meja karena kondisi kantin yang ramai dan padat.

"Sumpah, ya, gue gak suka kalo ada orang yang suka nyolong-nyolong gini. Meskipun cuma pulpen, enggak se-sering ini juga. Bangkrut gue mesti beli pulpen mulu," ujar Nuca kesal. Cowok bermata sipit itu sesekali menyuap nasi gorengnya.

"Kayak lo gak pernah nyolong aja, Ca," komentar Billy. Dan hal itu langsung mendapatkan decakan dari Nuca. "Yaa ... nggak gitu, Bil. Gue sadar kok, sadaaaar banget. Gue juga pernah nyolong pulpennya anak-anak, tapi gak setiap hari juga. Lah, ini, hampir tiap hari gue beli pulpen baru mulu. Duit kuota gue jadi ketilep anjir."

"Kira-kira siapa, ya, yang suka nyolong se-sering itu di kelas kita? Kok kayaknya gak berperikemanusiaan banget. Kalo nyolongnya sekali sebulan, sih, gak papa. Tapi ini tuh udah termasuk nyusahin. Di dunia ini bukan cuma pulpen dan kawan-kawannya yang mesti kita beli." Fajri ikutan bersuara. Percakapan mereka mendadak menjadi berat.

Sudah beberapa hari ini, kelas mereka sering sekali kehilangan pulpen. Dalam satu hari, bisa dua sampai tiga anak yang mengaku kehilangan benda untuk menulis itu. Kalau dihitung per-minggu, bisa sampai 12 anak atau pulpen yang hilang.

"Random kayaknya deh. Gak mungkin juga yang nyolong tuh pulpen orang yang sama dalam satu hari. Kalo iya, sih, udah pro banget tuh anak di dunia per-nyolongan pulpen," sahut Billy asal.

Fajri berdecak, lalu ia mengarahkan pandangan pada Azka di depannya. "Kalau lo, Ka, ada orang yang lo curigai nggak?" tanyanya.

Azka yang baru selesai makan berdeham sejenak. Memilih menyeruput es jeruknya baru menjawab pertanyaan dari Fajri.

"Gue gak bisa mencurigai siapa pun di sini. Karena pelakunya bisa siapa aja."

Singkat, namun mampu membuat ketiga orang di meja itu bungkam sejenak. Azka ini sekalinya bicara bisa membuat orang-orang di sekitarnya jadi speechless. Maksudnya, bisa saja Azka ini menyebut satu nama untuk menyelamatkan namanya yang akhir-akhir ini sering Zara koar-koarkan di kelas jika ialah pelaku pencuri barang-barang cewek itu. Namun Azka sepertinya tidak tertarik untuk menumbalkan seseorang demi menyelamatkan namanya.

"Gimana kalo apa yang sering diucapin Zara kemarin itu fakta? Bisa aja, kan, emang elo pencuri barang-barangnya dia dan pulpen kita semua?" Nuca bertanya dengan nada datar. Entah kenapa mendengar jawaban Azka tadi, ia jadi ikut-ikutan curiga dengan cowok itu.

Di luar dugaan Azka malah menarik sudut bibirnya membentuk seringai. "Udah gue bilang, kan, siapa pun bisa aja jadi pelakunya. Entah itu gue, Billy, Zara, Rey, Ahmad, bahkan lo sekali pun."

Baru saja Nuca ingin protes, Azka sudah bangkit dari kursinya. Mengalihkan atensi Billy dan Fajri.

"Mau kemana, Ka?" tanya Billy cepat. Cowok itu masih sibuk mengunyah pentolan bakso.

"Kelas, mau ngambil duit buat bayar kas futsal dulu."

Setelah Billy mengangguk, barulah Azka beranjak dari sana. Meninggalkan tiga manusia itu dengan pikiran bercabang.

"Kira-kira kalian curiga nggak sama Azka?" tanya Fajri setelah cukup lama meja itu hening.

Tanpa lama-lama lagi, Nuca langsung mengangguk cepat. "Gue curiga sama dia. Apalagi tadi jawabnya gak jelas dan sok misterius banget."

"Kalau lo, Bil?" Fajri beralih ke Billy. Setahunya cowok itu sangat akrab dengan Azka. Mungkin saja Billy tidak akan mencurigai teman dekatnya sendiri.

Zara's Mission [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang