22. Cheer Up

244 83 26
                                    

Zara menatap bangku di sebelahnya dengan perasaan gamang. Jam sudah menunjukkan pukul 7 lewat 15 menit. Bel masuk baru saja berbunyi. Dan bangku Lily masih kosong.

Zara tidak tahu apa yang harus ia lakukan lagi. Hari ini Lily mungkin memutuskan untuk tak sekolah dulu. Mungkin ia tak ingin bertemu Zara. Mungkin ia kecewa dengan Zara. Dan masih banyak mungkin-mungkin yang lainnya.

"Harusnya gue yang marah dong!" Zara mendesah pelan, lalu menggeleng. Tidak! Ia seharusnya tak boleh marah. Perihal pulpen dan barang-barangnya yang lain itu masih bisa dikembalikan. Masih bisa beli yang lain. Tapi Lily?

Lagi-lagi Zara mendesah. Selama persahabatannya dengan Lily terjalin, ia memang sangat jarang mendengar sahabatnya itu bercerita. Entah itu hal-hal pribadi maupun yang lainnya.

Keduanya hanya sering bergosip tentang bias, film minggu ini, dan beberapa judul novel fiksi yang sedang pre order. Kadang-kadang membicarakan anak cowok kelas sebelah, atau kakak anggota Paskibra yang habis pingsan kemarin.

Klise.

Lily tidak pernah bercerita atau setidaknya menyinggung penyakit dirinya sendiri. Dan itulah yang membuat Zara merasa bersalah.

Ia yang tak peka. Ia yang tak pernah mencari tahu. Atau ia yang tak pernah berusaha mengulik semuanya.

"Zara!" Panggilan Metha membuyarkan lamunan Zara. Perempuan itu langsung berjengit dan heran ketika melihat kelas mereka sudah kosong. Hanya ada sosok Metha yang berdiri di sebelah bangkunya, dengan muka jengkel.

"Dari tadi gue manggil, baru kali ini lo nengok? Ya ampun, Ra, lo kenapa, sih?" Metha langsung mencak-mencak.

"Gu–gue nggak papa kok, Tha."

Terlihat Metha menghela napas. "Tadi Ahmad bilang, kalo hari ini Bu Sri nggak masuk. Cuman disuruh ke perpus buat kerja tugas."

"Jadi semuanya udah pada ke sana?" tanya Zara dan langsung mendapat anggukan kepala dari Metha.

Tanpa menunggu lama lagi, Zara langsung mengemas buku latihan Bahasa Indonesianya berikut satu pulpen. Setelah itu, ia dan Metha segera berjalan beriringan keluar dari kelas.

"Ngomong-ngomong, Ra, Lily sakit apa?"

Zara tertegun sejenak. Ia menoleh ke arah Metha dengan raut keheranan. Maksudnya, heiii! Kenapa Metha bisa tahu?

"Dan tumben juga surat sakitnya dia bukan dititipin ke elo?"

Jadi ... ini maksudnya apa? Metha belum tahu kalau Lily pengidap kleptomania? Atau apa? Mendadak kepala Zara pusing. Dari tadi ia sama sekali tidak bisa fokus.

"Emang ... Lily sakit?" Itu pertanyaan aneh sebenarnya. Apalagi selama ini ia bersahabat baik dengan Lily. Terbukti dengan langkah Metha yang langsung berhenti. Gadis itu menatapnya dengan raut menyelidik.

"Masa lo nggak tau kalo sahabat lo itu lagi sakit?"

Zara meneguk salivanya kasar. Tidak tahu harus memberi reaksi seperti apa. Untung saja, Metha membuka suara lagi.

"Jadi tadi pagi Kak Lia nganterin surat sakitnya Lily di kelas. Mereka, kan, tetanggaan. Dan pertanyaan gue, si Lily ini sakit apa? Lo, kan, sahabatnya nih, pasti tau dong."

Zara sempat mengernyit sebentar. Jadi Lily tidak masuk hari ini karena sakit? Perasaan khawatir langsung menyergap. Detik ini juga, Zara rasanya ingin sekali ke rumah Lily dan meminta maaf pada sahabatnya itu.

"Yaa ... sakit maag. Biasalah, lo, kan, tau sendiri tuh anak susah banget kalo disuruh makan." Padahal Zara tahu sekali kalau Lily tidak punya riwayat penyakit maag. Terpaksa ia berbohong dan mengarang jawaban, daripada nanti Metha curiga.

Zara's Mission [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang