"Kalian kan pingin gue mati. Nah, gue juga pingin kalian mati. Jadi, gak mungkin dong gue kesini tanpa tujuan?"
Yeonjun diam tak berkutik, Beomgyu menekan mulut pistolnya dengan kuat ke keningnya. Rasa takut menyerangnya, kenapa keadaan jadi berbalik seperti ini?
Pisau digenggamannya ia gerakkan menyerang Beomgyu, tapi Beomgyu lebih dulu menendangnya hingga pisaunya terlempar jauh.
Ia kalah telak.
"Kak Beomgyu, jangan bunuh mereka," larang Taehyun mencengkram pundaknya dari belakang. "Kalau lo bunuh mereka, lo bukan Choi Beomgyu yang gue kenal, lo pembunuh."
"Lo peduli sama gue?" Tanya Beomgyu sarkas, menyentakkan tangan Taehyun dengan kasar. "Kenapa waktu itu gak gini juga, Tae? Ohh, lo takut mati juga, ya? Kayaknya iya, haha!"
"Ma-maksud lo apa?"
"Lo itu sengaja tinggalin gue malam itu! Emangnya gue gak tau hah?! Gue inget jelas apa yang lo bilang, "gue gak boleh terlibat, biarin aja dia mati disini". LO PIKIR GUE GAK DENGER?! GUE DENGER SEMUANYA, LO SAMA AJA KAYAK MEREKA!"
"Kak Beomgyu, tolong tenang dulu..."
"Diam, Kai! Lo juga sama! Lo liat gue dipukulin sama Kak Soobin, lo liat semuanya. Tapi kenapa lo tutup mulut?! Oh iya, gue kan bukan siapa-siapa," bentak Beomgyu dengan suara parau.
Soobin merinding, tangan Beomgyu terangkat berulang kali seperti hendak menarik pelatuknya, tak melihat kemana arahnya.
Hueningkai menundukkan kepala, menatap perutnya yang berlumuran darah. Rasanya memang sakit, tapi luka tusuk tersebut menurutnya tak sebanding dengan rasa sakit di hati Beomgyu.
Iya, seharusnya dia menolong Beomgyu. Tapi saat itu rasa tidak pedulinya lebih tinggi, dia juga tidak mau mendapat masalah.
Tawa putus asa Beomgyu kembali terdengar, matanya berkaca-kaca. Menjadi murid berpenampilan cupu, lusuh, dan diabaikan semua orang rasanya menyakitkan. Bahkan berita kematian palsunya itu tidak ada yang sadar kalau itu dirinya. Sebegitu tidak pedulinya kah orang-orang kepadanya?
Seharusnya dia mati saja sejak dulu, dengan begitu kan dia bisa bahagia.
"Lo tau gak sih, kak," ucap Beomgyu tiba-tiba, kembali menodongkan pistolnya ke Yeonjun. "Gue itu pingin banget mati, tapi lo juga harus mati dong. Masa matinya sendiri aja, kan gak enak."
"Lo gila ya?!" Seru Yeonjun. "Kenapa lo begini? Kemana Beomgyu yang gue kenal?!"
"Gue begini karena lo juga! Terus, tadi lo bilang lo kenal gue? Kok baru bilang sih, kemana aja lo selama ini? Oh iya, gue kan gak pernah dianggap."
"Kak Beomgyu, gue mohon sadar."
DOR!
"GAK USAH SOK PEDULI! GUE MUAK, LO CUMA KASIHAN SAMA GUE, BUKAN PEDULI! BERHENTI BICARA ATAU GUE TEMBAK KEPALA LO!" Teriak Beomgyu mengancam.
Taehyun terlonjak, badannya gemetar karena peluru hampir saja melubangi kepalanya.
"GUE GAK PERNAH DILIHAT, GUE GAK PERNAH DIANGGAP, GUE GAK PERNAH NGERASAIN APA ITU TEMAN. KENAPA DISAAT GUE BERUBAH KALIAN MAU TERIMA GUE?!"
Beomgyu jatuh bersimpuh, menangis mengeluarkan segala keluh kesahnya yang ia pendam selama ini. Dalam benaknya ia bertanya, apa penampilan itu penting?
Selama beberapa saat, tak ada yang mengeluarkan sepatah kata. Hanya terdengar suara isakan, isakan pedih menyayat hati dari seseorang yang menginginkan kebahagiaan di hidupnya, dia ingin teman.
"Tapi gak apa-apa, kalau kalian gak mati, seenggaknya kalian dipenjara," ucap Beomgyu dengan senyum puasnya, seraya mengangkat ponselnya tinggi-tinggi. "Ayah, polisinya udah sampai mana?"
Soobin dan Yeonjun panik. Sial, ternyata sejak tadi Beomgyu melakukan panggilan telepon dengan ayahnya. Ini gawat, mereka harus kabur secepatnya!
"Kak Yeonjun, ayo cepet!"
Soobin lebih dulu berlari ke pintu untuk kabur. Tapi sayang, tiga orang polisi menghadangnya, mengangkat borgol dengan santai.
"Mau kemana? Main dulu yuk, hihi," celetuk polisi bername tag Bobby.
"Lagi tugas masih bisa bercanda ya, serius dong!" Omel rekannya, Seongwoo namanya.
Rekannya yang satu lagi geleng-geleng kepala. Wajahnya yang tidak asing membuat empat murid disana terkejut, kecuali Beomgyu tentunya.
"Pak Minhyun!"
Pak Minhyun, guru yang selama ini dikenal sebagai guru kimia dan guru sejarah di sekolah berpakaian polisi? Tentu saja, dia seorang detektif. Dia ditugaskan oleh ayahnya Beomgyu untuk menyelidiki semuanya.
"Saya gak nyangka, ternyata dua murid saya seperti ini."
Awalnya sih santai, tapi melihat Kai terduduk lemas dengan mata sayu dia langsung melotot. "HEH, ITU TEMENNYA DIBAWA KE RUMAH SAKIT DONG!"
Seongwoo mengangkat borgolnya, memasangnya di tangan Soobin dengan segera. "Anak ganteng, yuk ikut ke kantor polisi."
Ternyata dia sama aja...
Beomgyu terkekeh mengusap air matanya, menatap Yeonjun yang diborgol dengan senyuman miring penuh kemenangan. Dia lega, akhirnya orang yang ia benci masuk ke penjara.
Iya, Beomgyu tak lagi menganggap mereka sahabatnya, tapi mereka adalah orang yang ia benci. Benci sekali.
"Liat aja nanti, Gyu," gumam Soobin penuh kebencian, sebelum dibawa keluar oleh Seongwoo yang gregetan sendiri.
Bobby cekikikan, menempeleng kepala Yeonjun. "Masih kecil bukannya belajar yang bener, mau jadi apa?"
Minhyun menabok temannya itu. "Bawa ke kantor polisi, nanti saya nyusul."
"Siap, pak ketua!"
Minhyun menunduk, memijat pangkal hidungnya. Hadeh, dia malu, benar-benar malu.
"Ayo, saya antar kalian ke rumah sakit. Beomgyu, kamu harus ikut ke kantor polisi untuk keterangan lebih lanjut. Terima kasih sudah berpartisipasi, kamu hebat."
Beomgyu mengedikkan pundaknya tak peduli, langsung keluar dari sana begitu saja. Melirik Taehyun dan Kai saja tidak.
Entah kenapa, mereka berdua merasa ada yang menancap di hati.
"Beomgyu butuh waktu, saya yakin dia gak benci kalian," ucap Pak Minhyun penuh ketulusan.
Taehyun menghela nafas. "Semoga..."
Beomgyu membuka memo di ponselnya, perasaan senang yang tak dapat dideskripsikan menghampirinya.
"Semua udah selesai, hehehehe."